Chapter 19

692 109 0
                                    

"Sialan!"

Prankk!

Pecahan vas bunga berhamburan di lantai akibat ulah seseorang yang tengah murka. Matanya memerah marah, nafasnya memburu, urat lehernya kentara dan giginya juga bergemelutuk. Ia berada di kamarnya hanya bersama sang tunangan, Achazia. Siapa lagi dia kalau bukan Alrick?

"Pangeran, tenangkan dirimu." Achazia berucap dari jauh. Ia tak berani mendekati Alrick yang tengah mengamuk seperti itu. Berbahaya.

"Bagaimana aku bisa tenang?! Bagaimana?! Orang itu, dia kembali untuk merebut semuanya lagi dariku! Sialan! Kenapa dia tak mati saja? Kenapa dia harus kembali ke sini?!" Sorot kebencian nampak jelas pada manik emerald itu.

Dengan was-was, Achazia mencoba mendekat. "Tak ada gunanya kau marah seperti ini, Pangeran. Tenanglah dulu."

Alrick memandangnya dengan aura membunuh membuat Achazia meneguk salivanya lalu kembali mundur. "Lalu kau mau aku berbuat apa? Kau mau aku ikut merayakan kepulangannya? Begitu?!"

"Kita pikirkan dengan kepala dingin. Jika kau bertindak gegabah, maka kita bisa hancur seketika. Kumohon, tenanglah." Alrcik perlahan bisa mengendalikan emosinya. Ia mendengarkan perkataan Achazia membuat gadis itu tersenyum lalu mendekatinya.

"Kita harus membuat rencana agar tahktamu aman, Pangeran."

"Itu sulit. Vathur adalah putra kesayangan raja, dia pasti akan langsung memberikan tahkta pada putranya itu!" Alrick meraup wajahnya kasar. Rasanya hampir frustasi.

"Maka kau harus memberikannya." Gadis itu langsung mendapat tatapan tajam Alrick.

"Apa maksudmu?" desisnya seram membuat Achazia merinding.

"K-kau berpura-pura rela memberikan posisimu agar kau tetap dipandang baik oleh raja, para bangsawan maupun rakyat. Dengan begitu, Pangeran Vathur akan dianggap sebagai perebut."

Alrick terkekeh sinis. "Bertahun-tahun kau tinggal di sini, tapi kau tetap tak mengerti keadaan Elvathir, ya?" Achazia menyerngit. "Vathur adalah putra kesayangan negeri ini. Rakyat akan bergembira jika orang itu menjadi calon raja mereka lagi."

Achazia nampak berpikir. "Kalau begitu, kita buat rencana lanjutan."

"Maksudmu?"

Sebuah senyum sinis kini terlukis pada wajah polos Achazia. Pikiran liciknya sedang bekerja sekarang.

"Kita buat ... kematiannya menjadi nyata."

***

"Kak, kau saja yang masuk. Aku akan tunggu di sini saja," ujar Ellent memohon.

Ia dan Vathur saat ini berada di depan kamar Ratu Aretta. Vathur mengajak Valerie untuk ikut melihat ibu mereka, namun Ellent terlalu takut. Bahkan ia yakin Valerie juga sangat takut dan tak mau ikut.

"Ayolah, Valerie. Kau juga merindukan ibu, 'kan?" Ellent mengalihkan pandangannya.

"Ibu membenciku, Kak. Dia akan mengamuk lagi jika melihatku." Dada Ellent terasa sesak. Ingatan saat Aretta mengamuk kembali terbayang dalam ingatannya. Penolakan Aretta sungguh menyakitkan.

Vathur menggenggam kedua tangan Ellent. "Ada aku. Kau hanya perlu percaya padaku." Ellent menatap mata kakak Valerie itu. Mata yang penuh akan keyakinan dan keseriusan.

Dengan berat hati, Ellent mengangguk. "Bukan salahku jika ibu mengamuk lagi nanti."

Akhirnya mereka berdua memasuki kamar sang ibu. Sementara 2 penjaga tetap berjaga di luar.

Yang pertama kali mereka berdua lihat, sama seperti yang Valerie lihat waktu itu. Aretta yang duduk termenung di samping jendela. Pandangannya yang kosong mengarah keluar. Tubuh yang semakin kurus dan wajah pucat yang terlihat redup.

Two Different Souls[END]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang