Chapter 26

594 89 0
                                    

"Sialan! Bagaimana bisa mereka mendapatkan penawar yang sudah punah itu?!" Pria dengan iris emerald itu kembali mengamuk di kamarnya.

Lagi-lagi, ia tak sendiri. Tunangannya setia menemani untuk memancing kobaran api dalam dirinya agar makin besar.

Achazia terdiam, ia nampak berpikir keras. Berbagai kemungkinan muncul dalam pikirannya, hingga ia bisa menyimpulkan sesuatu. "Aku rasa ini ada hubungannya dengan pengembara bermata merah itu. Kau tau? Ciri fisiknya saja sudah begitu mencurigakan, aku yakin kalau dia bukan pengembara biasa."

Alrick menatap Achazia serius. Ucapan gadis itu ad benarnya. Archer, pria itu pantas dicurigai.

"Sialan dia! Aku pasti akan membunuhnya dengan tanganku sendiri." Alrick mengepalkan tangannya di udara. Rasa benci dan marah bercampur menjadi satu dalam matanya.

"Kau bisa membunuhnya nanti, Yang Mulia. Tapi, sekarang keadaan Pangeran Vathur yang lebih penting dari pengembara itu. Tabib berkata kalau ia akan segera pulih, lalu bagaimana denganmu? Bagaimana dengan hakmu? Jika ia kembali sembuh, akan sulit bagi kita untuk menyingkirkannya."

Alrick memandang tunangannya tajam. "Tidak, itu takkan terjadi. Vathur, dia harus segera tiada bagaimanapun caranya."

Beberapa saat mereka berpikir hingga otak licik Achazia mulai bekerja. Ia tersenyum senang.

"Yang Mulia, aku punya rencana."

"Katakan!"

"Malam ini kita akan melenyapkannya secara langsung." Achazia tersenyum miring, sementara Alrick menganggap idenya remeh.

"Kau pikir keluarganya akan membiarkan dia sendiri? Itu tak mungkin."

"Aku yang akan mengurusnya. Pangeran cukup tancapkan belati pada dada pangeran, dan sebagai kambing hitam, kita bisa gunakan gadis berambut cokelat tadi." Perlahan senyum sinis terpatri pada wajah Alrick.

"Aku terpukau. Otak licikmu itu selalu bisa diandalkan." Alrick mendekati Achazia, lalu mengambil sehelai rambutnya dan menciumnya sensual membuat Achazia memejamkan matanya sejenak.

"Kuanggap itu pujian, Yang Mulia." Gadis itu memegang kedua bahu Alrick, lalu memeluk dada bidang itu erat.

***

"Ibu, kau kembalilah ke kamarmu. Kau pasti kelelahan menjaga kakak begitu lama, sekarang kau harus istirahat dulu." Aretta menggeleng. Ia menatap putrinya itu lalu tersenyum tipis.

"Ibu tak apa, dengan melihat kakakmu yang sadar maka rasa lelah ibu akan langsung menghilang."

Ellent memasang wajah memelas. "Ibu, kumohon turuti aku sekali saja. Ibu akan sakit jika terlalu kelelahan. Aku berjanji akan langsung memberitahu ibu kalau kakak telah sadar."

Aretta enggan mengiyakan. "Tapi, Nak---"

"Kakak akan sedih kalau ibu sampai sakit."

Menghela nafas kasar, Aretta akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah. Tapi kau harus memanggil ibu jika kakakmu sudah sadar?" Ellent mengangguk cepat.

Ia menunjukkan jari telunju dan tengahnya membuat Aretta menyerngit heran. "Aku janji."

"Kenapa dengan jarimu?" Ellent yang tersadar, segera menurunkan tangannya.

"Ahh, tidak apa-apa kok. Ibu, sebaiknya ibu ke kamar sekarang. Ayo!" Ellent merangkul pundak Aretta lalu membawanya keluar kamar.

"Sampai nanti, Bu." Ellent melambaikan tangannya sejenak lalu menutup pintu kamar Vathur.

Ellent bersandar pada pintu, sembari mengusap dadanya lega. "Huh, syukurlah. Sekarang, waktunya mengatur siasat."

***

Two Different Souls[END]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang