Hidup ini sudah adil apa belum?
Bagi gue, untuk di beberapa kejadian ada aja hal yang nggak adil buat gue. Contoh nya ketika gue sedang berusaha buat bangkit dari keterpurukan, tapi masih ada aja orang 'sinting' yang tanpa rasa bersalah mencoba untuk menjatuhkan gue lagi dan lagi.
Dan kini ketika gue udah punya seseorang yang udah gue anggap seperti semesta, yang gue sayangi, yang selalu menjadi sumber kebahagiaan gue, sosok keren yang membuat gue lebih bisa menerima diri sendiri. Tapi ternyata tuhan punya rencana lain yang sebelumnya nggak pernah gue duga sama sekali.
Nggak pernah terlintas di pikiran buat membangun hubungan jarak jauh dengan kak Jaemin. Sama sekali nggak. Di saat gue lagi sayang-sayangnya, tuhan dengan teganya bakal misahin kita.
Kini terhitung satu bulan kurang lagi menjelang keberangkatan kak Jaemin ke Amsterdam. Setiap hari kak Jaemin selalu ajak gue jalan ketempat-tempat yang nggak pernah gue datangi sebelumnya atau dia yang cuma main kerumah gue walau nggak ngapa-ngapain. Kita sama-sama menikmati waktu yang tersisa dengan baik.
"Ra..Aera!"
"Eh iya kenapa?" Gue terlonjak kaget begitu Somi teriak di kuping gue.
Somi menghela napas. "Gue udah manggil-manggil lo dari tadi. Bel pulang udah bunyi. Lo mikirin apa sih, sampe bengong sebegitunya"
Gue mengurai rambut dengan tangan. Rasanya belakangan ini gue lebih banyak bengong nggak jelas. Dan juga merasa kalau gue seperti kehilangan sebagian semangat. Padahal gue sebelumnya nggak pernah kaya gini.
"Lo mikirin kak Jaemin?" Somi bertanya hati-hati, seperti paham dengan perasaan gue yang sebenarnya lumayan sensitif kalau ngomongin tentang kak Jaemin, lebih tepatnya tentang kepergian dia ke Amsterdam nanti.
Gue cuma senyum sebagai bentuk jawaban. Bahu gue mendapat usapan dari tangan Somi, dia juga balik senyum ke gue. Dari senyumannya gue tahu kalau Somi mengatakan kalau semua bakal baik-baik aja.
Mungkin bakal baik-baik aja, tapi gue nggak begitu yakin.
"Kok wajah nya ketekuk gitu? Senyum dong senyum" Gue menerima uluran helm dari tangan bang Jaehyun. Seperti biasa bang Jaehyun selalu jemput gue sepulang sekolah, karena kak Jaemin udah tamat jadi kita nggak pernah pulang bareng lagi. Walau sekali-kali kak Jaemin suka mendadak tiba-tiba ada di depan gerbang buat jemput gue.
"Senyum" Bang Jaehyun ketawa begitu juga senyum lebar banget tapi jatuhnya kaya senyum yang terpaksa. Aneh, apa-apa aja di ketawain.
Selama perjalanan pulang pun gue nggak begitu banyak ngomong. Gue lebih cendrung diam sambil mengamati apa-apa aja yang di lihat selama perjalanan. Padahal hari ini gue nggak ada banyak kegiatan di sekolah, tapi kok rasanya capek banget. Bukan yang capek fisik, tapi capek otak yang penuh dengan banyak pikiran.
"Loh kok berhenti?" Motor bang Jaehyun berhenti di depan penjual soimay gerobakan. Gue pun baru sadar kalau ini bukan jalan ke arah pulang.
"Mau nggak?" Tawar bang Jaehyun natap gue dengan alis naik turun.
"Ya jelas mau lah!" Yakali gue nolak makanan.
Selain makanan pinggir jalan yang rasanya nggak pernah ngecewainn, gue selalu suka sama nuansanya. Bunyi-bunyi dari kendaraan yang berlalu lalang, para pejalan kaki, juga nuansa-nuansa sederhana lainnya yang selalu di dapatin ketika makan makanan dipinggir jalan doang.
Tiba-tiba pipi gue ketempelan benda dingin. Gue menoleh, ternyata bang Jaehyun yang dengan iseng nempelin minuman kaleng ke pipi gue. Gue menerima minuman kaleng itu. Rasa manis dan dinginya langsung bikin tenggorokan yang kering ini jadi adem.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kamu, dan Timbangan.
Roman pour Adolescents[SELESAI] Ketika timbangan berat badan menjadi tolak ukur untuk standar kecantikan. Rinai senja, April 2021.