Situ yang baca doang tapi nggak kasih vote sama koment mau nya apa Hah?!
Kalau di pikir-pikir hubungan itu tanpa sekatan kan ya? Karena biar apa? Biar saling terbuka satu sama lain. Gue pernah dengar kalau hubungan itu terbentuk karena kita sendiri yang membentuk. Sayang nya realita nggak semudah apa yang kita omongin.
Jangankan buat saling terbuka satu sama lain. Teleponan sama kak Jaemin lima menit aja itu rasanya udah bersyukur banget. Katanya setiap orang punya jalannya masing-masing. Tapi kok jalan gue sama kak Jaemin jadi nggak jelas kaya gini ya?
Jika dulu di tanya capek apa nggak, pasti gue bakal jawab nggak. Tapi sekarang udah beda, situasi nya udah nggak sama lagi. Sudah hampir satu tahun setengah sejak kepergian kak Jaemin ke Asmterdam dan hampir setengah tahun gue tinggal di Jogja, semuanya semakin berubah.
Hubungan itu di perjuangkan oleh dua hati yang saling menyatu, tapi kalau cuma di jalani oleh salah satu pihak doang, apakah bisa di sebut dengan berjuang?
Kita di suruh berlajar untuk menerima fakta dan realita, tapi kayaknya gue masih belum bisa. Kita keseringan bilang nggak apa-apa, sampai akhirnya kita kebal dengan rasa. Sekarang gimana maunya semesta aja, mau katanya apa, ya udah tetap jalani aja.
Setelah kelas terakhir selesai gue memilih duduk di kursi besi di bawah pelantaran pohon taman kampus sambil menunggu Rebecca dan Jihan kembali dari toilet. Di situasi-situasi membingungkan kaya gini semakin membuat gue rindu sama rumah dan sahabat-sahabat gue.
Gue bukan tipikal orang yang terbuka, apalagi dengan orang baru yang gue kenal. Meski sudah berteman hampir setengah tahun, gue masih belum bisa untuk terbuka kepada Rebecca dan Jihan.
"Bengong-bengong aja nanti ke sembet sama penunggu sini" Kembali dari toilet tiba-tiba Rebecca mengkaget kan gue dengan suaranya yang ciri khas itu.
"Sembarangan!" Seru gue.
"Ya sudah yuk, pergi sekarang" Ajakan dari Jihan membuat gue bangkit dari duduk. Kita bertiga berjalan kearah parkiran mobil, menuju mobil Jihan. Rencananya hari ini kita mau main-main di rumah Jihan.
"Kamu kenapa Ra dari tadi aku lihatin kaya ada sesuatu yang di pikirin gitu? Ada masalah? Kalau ada jangan sungkan buat cerita sama kita berdua" Mendengar ucapan Jihan membuat mata gue berkaca-kaca. Gue nggak bisa lagi buat nahan semuanya lagi.
"Gue rindu rumah" Ucap gue serak. Jihan yang menyetir melepaskan satu tangannya dari setir untuk mengenggam tangan gue.
"Home sick ya?" Tanya Rebecca yang duduk di kursi belakang. Gue menjawab dengan anggukan kepala. Jujur gue rindu banget sama rumah. Mama, papa, bang Jaehyun, kak Chaeyeon. Gue rindu Jakarta.
"Ih jangan nangis" Rebecca tiba-tiba ikutan nangis, ngelihat gue. Untuk semua anak rantau pasti pernah merasakan apa yang gue rasain sekarang. Mau seasik apa, mau sebagus apa kota perantauan, masih jauh lebih nyaman lagi kota kelahiran.
"Kan Jihan jadi mau nangis juga ngelihat kalian berdua nangis" Gue sama Rebecca terkekeh di sela tangisan.
Setelah acara tangis-tangisan di mobil, kita akhirnya sampai di rumah Jihan yang jaraknya sebenarnya nggak terlalu jauh dari kampus. Rumah sederhana itu tampak nyaman meski hanya di lihat dari luar nya saja.
"Assalamualikum ibuk, adek pulang"
"Waalaikumsalam, ibuk di dapur"
Kita bertiga menuju dapur. Dapat di lihat ibuk Jihan yang tengah sibuk membuat kue-kue. Duh, gue semakin rindu sama Mama.
"Assalamualikum tante"
"Selamat siang tante"
Gue dan Rebecca menyalami tangan tante Lia, nama ibuk Jihan. Jihan dan dan tente Lia benar-benar mirip, bisa di bilang jika Jihan adalah copy paste dari tante Lia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kamu, dan Timbangan.
Teen Fiction[SELESAI] Ketika timbangan berat badan menjadi tolak ukur untuk standar kecantikan. Rinai senja, April 2021.