15 | That Kiss

200 33 5
                                    

"Na, sampai kapan lo bakal diemin gue gini?"

Itu pertanyaan kesekian yang tidak pernah mendapat jawaban dari Nana sejak Je menerobos masuk rumah Nana satu jam yang lalu. Nana masih semarah itu pada Je setelah kejadian seminggu yang lalu. Semua pesan Je tidak pernah dijawab, puluhan telpon Je selalu ditolak oleh Nana bahkan gadis itu tidak mau melihat Je barang sedetikpun meski Je seberusaha itu untuk meminta maaf. Setiap kali Je datang ke sekolah atau tempat bimbel Nana, Je tidak pernah menemukan gadis itu disana. Datang ke rumah Nana pun yang ditemui Je hanya kekosongan sebab Nana benar-benar menghindarinya.

Baru hari ini Je bisa menemui Nana meski harus menerobos masuk ke rumah Nana tanpa sepengetahuan si pemilik. Je ingin meminta maaf dan meluruskan kesalahpahaman antara dirinya dan Nana. Jujur saja, Je tidak bisa bertahan dengan keadaan ini. Lebih baik Nana memaki-makinya atau menghajarnya saja daripada harus didiamkan dan dihindari seperti ini. Seminggu terakhir ini rasanya sangat menyiksa bagi Je karna satu-satunya orang yang dipercayanya bersikap seolah dia ini virus yang perlu dihindari.

"Nana, please forgive me," Lagi Je berusaha mengalihkan atensi Nana yang sibuk memotong buah-buahan.

Kali ini usaha Je tetap gagal, sebelah tangannya menyugar rambutnya ke belakang menandakan jika Je sudah sampai diambang keputus asaan. Namun Je tak habis akal, Je berderap mendekati Nana. Meraih pisau ditangan gadis itu untuk ditaruhnya di meja sebelum meraih kedua tangan Nana dalam genggamannya. Yang tentu saja mendapat perlawanan balik dari si empunya.

"Alerina Winter Jumantara," perlawanan Nana seketika berhenti begitu Je mengucapkan namanya dengan suara rendah. Nana membeku di tempatnya, tatapannya tertuju pada Je yang balas menatapnya dalam. Je tidak pernah menyebutkan nama itu bahkan orang lain sekalipun. Tidak ada yang mengetahui nama yang diucapkan Je. Nana juga tidak menyangka Je akan menyebutkan nama itu di situasi ini.

"Na, dengerin penjelasan gue," Je mengeratkan genggamannya, "Gue gak pernah bermaksud bentak lo waktu itu. Gue juga tahu kalo maksud lo nyuruh gue ngelakuin itu baik. Tapi Na, lo harus ngerti kalo ini bukan waktu yang tepat buat gue jelasin apa yang terjadi ke Lea ataupun yang lain. Tanpa lo minta pun, gue udah akan jujur tapi bukan sekarang waktunya. Gue butuh waktu buat nyiapin diri buat jujur sekaligus waktu buat nyelesain masalah gue----"

"Tapi kamu udah terlalu lama nyimpan semuanya sendiri, Mas. Terlalu banyak hal yang kamu sembuyiin termasuk sama temen-temen kamu."

"Gue tahu, tapi beri gue waktu buat nyelesaiin semuanya dulu ya?" Nana tidak menjawab, hanya menatap pada Je dengan mata berkaca-kaca.

"Please?"

Nana menjawabnya dengan anggukan kepala yang membuat Je tersenyum kecil. Meraih tubuh Nana yang lebih kecil darinya ke dalam dekapannya. Dibandingkan siapapun bahkan kedua orang tuanya sekalipun, hanya Nana yang paling mengerti dirinya dan juga sisi gelapnya. Je butuh waktu sedikit lama untuk bisa membuka sisi gelap yang disembunyikannya. Setidaknya Je harus menyelesaikan masalahnya terlebih dahulu dan menata kehidupannya yang sudah berantakan sejak beberapa tahun lalu.

"Beri gue waktu sedikit lebih lama."

###

Jo mematikan mesin motornya begitu sampai di garasi. Laki-laki bertubuh jangkung itu berderap cepat ke halaman kontrakan begitu mendapati Lea duduk di bangku tempat biasanya anak-anak nongkrong. Gadis itu tersenyum lebar begitu melihat kedatangan Jo.

"Udah lama nunggu?"

"Lumayan," Lea berdiri hingga tubuhnya berhadapan dengan Jo.

"Kenapa gak langsung masuk? Gue udah ngasih tahu letak kunci kontrakan dimana ke lo tadi."

Return ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang