18 | Side Effect

190 35 14
                                    

Pagi itu jam sudah menunjukkan pukul 08

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi itu jam sudah menunjukkan pukul 08.00 pagi. Kalau hari biasa Lea pasti sudah berpindah dari tempat tidurnya. Entah itu bersih-bersih kamarnya, sibuk eksperiman di dapur, atau kalau lagi dapat kuliah pagi Lea tentu sedang bersiap-siap ke kampus. Beda dengan hari ini, Lea tidak melakukan salah satu kegiatan yang sudah disebutkan. Ya, ini hari Minggu sih tapi setidaknya jam segitu Lea sudah stand by di depan kos, menunggu pedagang sayur yang biasa lewat.

Lea masih betah berada di bawah selimut tebalnya. Telentang, mengarahkan pandangannya ke langit-langit kamar dengan tatapan menerawang. Pikirannya melayang pada kejadian semalam yang terjadi di kontrakan Jo. Satu kejadian yang membuatnya mengumpati dirinya berulang kali. Rasanya Lea ingin menenggelamkan diri di samudera Atlantik. Bisa-bisanya Lea melakukan itu, tidak habis pikir Lea terhadap dirinya sendiri. Kurang bego apalagi coba?

It was a mistake.

And she knew it.

Namun yang aneh adalah Lea tidak merasa tidak suka pada apa yang dilakukan Je. Tidak ada rasa marah sedikitpun didiri Lea. Yang dirasakan hanya malu, rasa malu yang sampai ke ubun-ubun. Lea tidak tahu bagaimana kondisi wajahnya saat itu atau bagaimana penampilannya di mata Je. Lea hanya sempat mendengar Je mengatakan kata "thank you" didetik Je melepas tautan bibirnya diikuti senyum lebar yang memicu Lea untuk kabur. Lea tidak berani menatap Je setelah laki-laki itu melepas rengkuhan di tubuhnya. Dan lebih memilih langsung kabur dari kontrakan, tidak berpamitan pada Jo, Ben, ataupun Rasya yang sempat melihatnya berlari kesetanan dari lantai dua.

Dan sialnya, kejadian itu menghantuinya semalaman yang membuat Lea tidak bisa memejamkan mata. Lea masih bisa merasakan bibir Je di bibirnya, sentuhan Je yang membuat Lea nyaris gila jika mengingatnya. Bagaimana Je memperlakukannya dan membawanya serasa terbang ke awang-awang masih setia terputar di kepala Lea. Hal itu membuat Lea bertanya-tanya, kenapa Lea merasakan hal ini pada Je?

"Harusnya dia gak ijin ke gue biar gue ada hak buat ngamuk atau marah-marah ke dia. Tapi kalau kayak gini ceritanya-----" Lea tidak meneruskan monolognya seraya menyembunyikan wajahnya dibalik selimutnya.

Satu lagi yang sangat teramat Lea sesali, kenapa Je harus meminta ijinnya dan Lea memberikan ijin itu pada Je? Kenapa bisa-bisanya Lea memberi Je akses itu? Kalau begini ceritanya Lea tidak punya hak untuk sekadar marah pada Je. Sebab kejadian semalam terjadi atas seijinnya bukan paksaan seperti apa yang dilakukan Jo. Lea pun secara sadar membalasnya malah kalau Lea tidak salah ingat, Lea juga menikmati apa yang dilakukan Je. Makanya Lea benar-benar tidak bisa melakukan apapun kecuali dirinya yang berniat menghindari Je. Sumpah, Lea tidak sanggup berhadapan lagi dengan Je. Bukan karena Lea tidak suka atau marah atas apa yang dilakukan Je melainkan Lea merasa malu banget.

Semisal semalam Je tidak meminta ijin, kan Lea punya kesempatan buat marah dan ngamuk. Lea pun juga tidak akan masalah berhadapan lagi dengan Je jika tidak sengaja bertemu sebab disini Je yang salah bukan dirinya. Je juga bisa tahu kalau laki-laki itu sudah tak berarti apa-apa alias Lea sudah move on. Namun kenyataannya kan bukan begitu, justru perilaku Lea semalam secara otomatis membuat Je tahu kalau rasa itu ada dan masih bertahan. Disisi lain, Lea merasa jadi cewek tidak tahu diri yang terima-terima saja dicium laki-laki yang tidak punya status apapun dengannya. Apalagi kesadaran lain menghantam kepalanya, Je masih berstatus pacar putri salju. It means Lea secara sadar mencium cowok orang lain.

Return ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang