Prolog

600 49 7
                                    


Alunan musik pop mengalun melalui speaker portabel yang sengaja Lea letakkan di meja belajar. Gadis berambut rambut panjang itu membiarkan suara milik Luke Hemmings, vokalis salah satu band favoritnya menemani kegiatan mengepak barang-barangnya ke dalam koper. Sesekali Lea ikut menyumbangkan suara, melantunkan lirik lagu yang sudah ia hafal di luar kepala.

Lea bergerak sedikit, menggeser koper yang sudah selesai ia tata ke sisi sebelah yang kosong. Kemudian ia beralih meraih ponselnya, mengecek beberapa notifikasi yang masuk. Ada satu pesan dari teman-nya yang menanyakan keberangkatannya besok ke Yogyakarta. Dengan cepat, Lea langsung membalas sekalian meminta temannya untuk menjemput Lea di Stasiun Tugu.

Bukan tanpa alasan Lea mengepak barang-barangnya, sekitar 2 bulan lalu Lea menerima pemberitahuan bahwa ia diterima menjadi mahasiswa salah satu Universitas di Yogyakarta. Itu artinya Lea harus meninggalkan rumahnya di Jakarta demi menempuh pendidikan disana. Jadwal keberangkatanya adalah besok pagi makanya sore ini Lea bersiap-siap mengepak barang sisa yang perlu dibawa. Sebab sebagian barang-barangnya sudah tiba di tempat kos-nya di Yogyakarta beberapa waktu lalu ketika Lea mengurus daftar ulang mahasiswa.

Lea bersyukur, semuanya berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan. Yah, meski awalnya terjadi sedikit drama antara Lea dan keluarga intinya. Dimana sang Mama tidak mau melepas Lea menempuh pendidikan di tempat yang jauh. Namanya juga emak-emak, pasti ada rasa khawatir saat sang anak perempuan hidup jauh dari keluarga. Jakarta-Yogyakarta itu jauh, perlu beberapa jam untuk menempuhnya. Mama tidak bisa langsung menemui Lea begitu rasa rindu melingkupinya. Apalagi Lea itu sedikit manja atau lebih tepatnya ceroboh. Diantara dua anak perempuan Mama, Lea itu yang paling ceroboh dan pelupa. Lira -kakak perempuan- Lea bahkan sempat menjulukinya sebagai "bocah pikun" karena memori ingatan Lea yang benar-benar limited edition. Jangankan satu jam lalu, kejadian lima menit yang lalu saja bisa lupa.

Pernah suatu kali, Lea mengobrak-abrik isi kamarnya hanya untuk mencari kartu pelajar. Saat itu wali kelas menyuruhnya untuk mengumpulkan fotokopi kartu pelajar tapi sayang miliknya tidak ada. Lea hampir saja membuat satu rumah gempar hanya karna masalah kecil. Dan pada akhirnya, kartu pelajarnya ditemukan terselip di salah satu buku catatannya. Tapi anak itu ngotot berkata menaruh kartu pelajarnya di kamar.

Belum lagi, Lea itu punya ketakutan terhadap gelap. Lea akan histeris setiap kali ada pemadaman listrik dan dengan seenak jidat memaki petugas PLN yang tega memadamkan listrik. Lea tidak suka gelap sebab otaknya selalu dipenuhi pikiran negatif seperti bagaimana jika ada hantu yang muncul dadakan dihadapannya. Demilah, Lea pernah punya pengalaman melihat jumping candy alias pocong muncul di dapur saat ia ingin mengambil minum. Itulah awal dari segala awal Lea sangat membenci gelap. Reaksi Lea akan lebih parah jika pemadaman listrik terjadi di malam hari berbarengan dengan hujan lebat yang membawa serta angin dan petir. Perpaduan dua hal itu, sangat-sangat dibenci Lea. Secepat mungkin Lea akan menyusul ke kamar kakak atau orang tuanya, kemudian menangis sampai sesegukan.

Karna alasan-alasan itu rasanya Mama tidak bisa begitu saja melepas Lea kuliah di tempat nan jauh disana. Mama berpikir jika di rumah saja Lea sering dapat masalah dari kecerobohan dan pelupanya. Apa jadinya jika anak itu dilepas tanpa pengawasan? Mama tidak bisa membayangkan hal itu makanya Mama jadi pihak utama yang menentang keputusan Lea disusul oleh Lira. Hanya Papa yang paling pro dengan Lea. Papa setuju-setuju saja, hitung-hitung Lea belajar mandiri tidak melulu bergantung dengan sang Mama. Hal itu membuat Lea meminta bantuan Papa membujuk Mama dan Lira supaya setuju dengan keputusannya. Lagian, Lea tidak bisa melewatkan kesempatan menjadi mahasiswa di salah satu Universitas impiannya sejak dulu. Bisa menangis bombay cirambay kalau sampai Mama tidak setuju. Yang untungnya tidak jadi, Papa berhasil meyakinkan Mama untuk melepasnya. Dengan beberapa catatan tentunya.

"Dek, ini lo beneran bakal kuliah ke Yogyakarta?" tanya Lira yang sudah berdiri diambang pintu kamar.

Lea menurunkan ponsel ditangannya, melihat ke arah Lira dengan hembusan nafas berat. Lagi-lagi pertanyaan yang sama. Kalau dihitung sudah mencapai puluhan atau bahkan ratusan kali ditanyakan pada Lea.

Return ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang