Jam dinding di kamar menunjukkan angka jam setengah delapan malam ketika Lea baru selesai membersihkan diri. Lea menempatkan handuk yang tadi dipakainya ke gantungan dekat pintu kamar mandi. Kemudian, merebahkan dirinya ke atas tempat tidur. Lea menatap langit-langit kamar kos dengan pandangan menerawang ke beberapa hari yang sudah dilewatinya setelah memutuskan hidup jauh dari rumah.
Hidup di perantauan ternyata tak semudah yang dibayangkan. Ada banyak hal yang berubah dalam hidupnya. Disini Lea benar-benar harus mandiri, sebisa mungkin menyelesaikan semuanya serba sendiri. Tidak ada Mama maupun Lira yang biasanya membantu. Contoh sederhana yang paling menonjol Lea rasakan adalah urusan makanan. Dulu saat masih di rumah, Lea tidak perlu pusing memikirkan mau makan apa hari ini karna ada Mama yang siap memasakkan makanan. Lea tinggal menikmati atau kalau ada makanan yang ingin dimakannya, Lea bisa request ke Mama untuk dimasakkan. Namun berbeda keadaannya dengan disini, Lea dibuat cukup pusing memikirkan mau makan apa setiap harinya. Lea dituntut untuk bergerak sendiri, memasak makanannya sendiri. Ya, berhubung Lea tidak terlalu mahir dalam urusan masak-memasak pada akhirnya Lea membeli makanan di luar dan terkadang itu cukup ribet dilakukan apalagi ketika Lea dalam keadaan capek. Meski bisa saja Lea memanfaatkan jasa delivery makanan, Lea cukup duduk cantik menunggu pesanan diantar tanpa perlu repot. Tapi jika itu dilakukan terus-menerus pengeluaran Lea bisa membengkak makanya jalan ninja yang Lea tempuh adalah dengan menyediakan satu kardus mie instant untuk jaga-jaga. Katanya kan, mie instant itu adalah sahabat setia anak kos. Mie instant bisa jadi solusi terbaik bagi perut anak-anak kos yang kelaparan.
Awalnya Lea memang cukup kesulitan beradaptasi dengan pola hidup anak perantauan. Lea belum bisa me-manajemen waktunya dengan tepat. Maklum saja, ini pertama kalinya Lea hidup terpisah dari keluarga. Apalagi Lea merupakan golongan orang-orang ceroboh dan pelupa. Beberapa kali mengalami kesulitan yang hampir saja membuat Lea menyesali keputusannya. Yang paling tidak bisa dilupakan adalah ketika Lea lupa membawa name tag di hari kedua OSPEK-nya. Itu adalah kecerobohan paling bodoh yang pernah Lea lakukan. Bagaimana Lea bisa melupakan name tag-nya disaat benda itu adalah benda wajib yang harus selalu dibawanya selama mengikuti kegiatan OSPEK? Padahal Lea sudah cukup bangga sebab hari pertama OSPEK-nya berjalan lancar. Yah, setidaknya Lea bisa mengurus kebutuhannya sendiri, menyiapkan apa-apa saja yang harus dipersiapkan dan dibawanya. Tapi itu hanya berlaku di hari pertama, hari selanjutnya tidak berjalan seperti yang Lea harapkan.
Insiden lupa membawa name tag menjadi pembuka jalan kesialannya. Lea diberikan ceramah setidaknya setengah jam oleh salah satu senior yang menjabat sebagai Komdis alias Komisi Disiplin. Sebelum Lea disuruh untuk meminta 30 tanda tangan mahasiswa senior dalam waktu 90 menit sebagai hukuman. Dan tentunya dengan syarat yang membuat Lea mengumpat tanpa suara. 30 tanda tangan yang didalamnya mewakili semua fakultas di kampusnya. Jadi harus ada setidaknya satu tanda tangan per-fakultas. Bukankah itu gila? Fakultas di tempat Lea itu cukup banyak, jarak satu gedung ke gedung lainnya tidak bisa ditempuh dalam waktu singkat. Lea juga belum terlalu mengenal lingkungan kampus. Lagi, Lea tidak boleh meminta bantuan atau menggunakan transportasi seperti motor untuk jalan ke fakultas lain. Kurang ajar memang, mendadak Lea cosplay jadi atlet pelari maraton.
KAMU SEDANG MEMBACA
Return ✔
FanficKenapa Lea harus dihadapkan dengan masa lalu ketika ia bahkan ingin memulai lembaran baru? Nyatanya, takdir memang suka sebercanda itu.