23 | The Truth

214 38 9
                                    

Bodoh!

Je bodoh!

Lea merutuk Je dalam hati berulang kali, tidak habis pikir bahwa laki-laki itu bisa bertindak sejauh ini. Seolah ditusuk oleh sebilah pisau belati, Lea merasakan sakit yang teramat sangat dalam dadanya. Ditambah rasa menyesakkan yang membuatnya kesulitan untuk bernafas. Air matanya mengalir, membasahi kedua pipinya. Tangan kanannya Lea gunakan untuk memukul dadanya berulang kali, berharap pukulan itu bisa meredakan rasa sakit yang dideranya. Meski kenyataannya, sakit yang Lea rasakan tidak berkurang. Ratusan pertanyaan mulai mendesakki kepalanya.

Kenapa Je menyembunyikan masalah ini darinya?

Kenapa Je tidak jujur padanya?

Kenapa Je bisa melangkah sejauh ini hanya untuk mendorongnya menjauh?

Kenapa Je membuat Lea membenci Je?

Apa alasan Je berbohong padanya?

Ratusan pertanyaan ini terus berputar di kepalanya, menyesakkinya hingga Lea merasa pening. Ingatan Lea perlahan menarik kejadian-kejadian di masa lalu hingga dimana Je mengatakan sesuatu yang mampu menghancurkan Lea bahkan untuk kedua kalinya. Lea tidak mengerti dengan semua ini. Lea tidak mengerti bagaimana jalan pikiran Je. Lea tahu Je bukan seseorang yang dengan mudah menceritakan masalahnya pada orang lain. Tapi waktu itu Je bisa bercerita padanya, daripada harus membohonginya seperti itu.

Lea mengusap pipinya kasar, "Kenapa dia bohongin gue?"

"Mas Je gak mau membebani lo dengan masalahnya. Dia gak mau lo tahu keadaan keluarganya."

"Kenapa lo gak ceritain ini dari awal ke gue? Kenapa lo baru cerita sekarang disaat gue berusaha mati-matian buat bisa sembuh dari sakit hati gue sama dia?" Lea menyugar rambutnya ke belakang dengan kasar.

"Gue benci banget sama dia, terakhir kali gue bilang biar dia gak pernah lagi muncul dihadapan gue. Selama ini gue selalu berusaha buat baik-baik saja, berusaha ngelupain masa lalu gue sama dia tapi berulang kali gue mencoba gak ada satupun yang berhasil. Sejak gue ngobrol sama dia di rumah sakit, gue udah memutuskan berhenti peduli sama dia. Tapi lagi-lagi gue kalah karna Mama Uni ninggalin dia. Dan sekarang gue denger hal ini dari lo disaat gue mulai terbiasa dengan luka gue. Kenapa dia mainin perasaan gue kayak gini, Na? Kenapa?"

Nana terdiam, memperhatikan Lea yang begitu kacau dihadapannya. Ada rasa bersalah dalam dirinya karena lagi-lagi menyakiti gadis itu. Lea sangat terpukul dengan fakta yang baru diungkapkannya. Nana tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Lea saat ini, yang Nana tahu dirinya tidak bisa membiarkan Je terjatuh lagi. Nana mungkin egois dengan menyeret Lea dalam belenggu masalah Je dan keluarganya. Namun tidak ada yang bisa Nana lakukan kecuali menceritakan hal sebenarnya pada Lea. Walaupun harus membuat Lea kembali hancur.

Kali ini saja, Nana ingin egois. Bukan hanya Lea yang lelah, Nana juga lelah dengan sifat Je yang keras kepala dan berusaha sok tegar. Nana ingin mengakhiri semua kebohongan-kebohongan yang dibuat Je. Nana ingin laki-laki yang berstatus sebagai kakaknya itu bahagia. Cukup dirinya dan Mami yang merenggut kebahagiaan Je, Nana tidak ingin Je semakin terpuruk. Dan gadis yang menangis dihadapannya ini adalah sumber kebahagian kakaknya.

Jadi, Nana meminta maaf kalau cara ini menyakitkan.

"Sebenarnya dia gak pernah mau ceritain hal ini ke lo walaupun gue udah berulang kali ngebujuk dia buat jujur waktu gue tahu ternyata Tuhan mempertemukan kalian lagi. Tapi disaat yang sama dia gak mau lo tahu, dia hanya mau lo bahagia makanya dia tetap mempertahankan kebohongan dia sampe sekarang," Nana menjeda sebentar untuk menghapus air mata yang mengalir dipipinya, "Mas Je itu sayang banget sama lo saking sayangnya dia gak mau hal buruk terjadi sama lo. Dia takut kalau saat itu masih mempertahankan lo, lo akan lebih ngerasa sakit dari yang dia perbuat. He always said 'She deserve to be happy'."

Return ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang