15🖤

71 5 0
                                    

Malam ini terasa begitu sepi, ya memang selalu sepi untuk Iqbal. Namun, ini sepi yang sesungguhnya, bukan perumpamaan akan hatinya.

Hampir semua santriwan dan beberapa santriwati pergi ke perlombaan pencak silat.

Iqbal hanya memandangi mereka bersiap untuk pergi dari jendela kamar ibundanya. "Kamu nggak ikut, Iqbal?"

"Enggak, Bun. Buat apa Iqbal ikut? Iqbal tuh nggak pernah berguna."

"Hus! Ngomong apasih kamu? Kamu itu putra bunda yang paling hebat, yang paling bisa diandelin."

"Ah, Bunda. Cuma bunda yang bilang gitu."

"Kamu nggak suka dibilang bunda gitu?"

Iqbal mendekat, lalu memeluk bundanya. "Iqbal suka, suka banget. Bunda adalah satu-satunya alasan Iqbal bertahan hidup sampai sekarang."

"Jangan ngomong gitu, kita nggak tau umur seseorang. Kalo bunda dipanggil Allah? Bunda harus bantah, gitu? Kalo bunda masih punya Iqbal yang belom ketemu jodohnya." Wanita itu tertawa kecil.

"Kamu harus hidup untuk dirimu sendiri, kamu punya Allah, kamu punya takdir, kamu punya jodoh, InsyaAllah."

"Dengerin bunda." Iqbal mendongak. "Biarpun semua orang jauhin kamu, semua orang pergi, kamu nggak punya apa-apa, kamu tetep punya Allah, kamu punya Tuhan, kamu tetep jadi hamba Allah."

"Bunda kenapa ngomongnya gitu? Bunda tega?"

Wanita itu kembali tertawa ringan. "Bukan begitu, kalau ... ujian orang itu beda-beda, kita kan nggak tau. Apa pun yang terjadi, selalu inget Allah, bunda akan selalu sama kamu, bunda janji."

Iqbal tersenyum, hatinya terasa tenang. "Bunda janji?"

"Janji, bunda akan selalu ada di hati kamu." Bunda menaruh telapak tangannya di dada putranya.

"Kamu pergi ke Jawa Tengah kapan? Emang di kota mana? Kamu ngomongnya Jawa Tengah mulu." tanya bunda mengalihkan pembicaraan, ia tak ingin putranya sedih.

"Iqbal nggak tau, Bun. Nggak nutup kemungkinan juga kalo besok berangkat. Kotanya juga gatau, Iqbal lupa."

"Kok nggak tau?"

"Ya katanya Iqbal disuruh mimpin kelompok terakhir, sedangkan Iqbal gatau jalan. Jadi mungkin Iqbal bakal ikut rombongan lain." Bunda mengangguk.

"Sudah packing?"

"Udah kok, Bun. Jaga-jaga hehe."

"Iqbal!" Terdengar suara Ustadz Zakir dari bawah sana.

"Sebentar, Bun." Iqbal berjalan menuju jendela. "Iya, Ustadz? Kenapa?" tanya Iqbal berteriak.

"Kamu ikut saya sini."

"Iqbal nungguin bunda, Ustadz."

"Iqbal, kamu ikut mereka aja. Bunda sama Ustadzah Zaenab kok, tenang aja."

"Beneran, Bun?" Wanita itu tersenyum dan mengangguk meyakinkan putranya.

"Yaudah deh, Iqbal ikut Ustadz Zakir."

"Ngapain kamu ngajakin Iqbal, Zakir? Dia pasti bosen, nggak paham soal bela diri satu lawan satu. Biasalah, anak geng beraninya cuma keroyokan," sindir Ayah Iqbal.

Iqbal hanya diam menahan hatinya yang bergejolak marah, ia harus tetap hormat kepada ayahnya, layaknya yang bunda selalu ajarkan.

"Saya hanya ingin mengajak Iqbal melihat gedung ini, Kyai. Iqbal pasti tidak pernah ke sini." Iqbal tersenyum miring, sebenarnya ia sering melihat acara pencak silat di gedung olahraga ini.

Monster Salju dan Bidadari SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang