3🖤

127 9 9
                                    

Nakal itu wajar
Namun akan tidak wajar jika kau sampai melupakan Tuhan

~ Salju ~

"Sebenarnya dia itu siapa? Mengapa Ayah lebih menyayanginya daripada saya? Yusuf, bolehkah kita bertukar raga? Aku ingin berada di sana, berada di pelukan Ayah." Iqbal kembali bermonolog di depan cermin.

"Mengapa ayah tak memperdulikanku? Jika boleh meminta, aku ingin kembali ke masa kecilku, saat sebelum kakek meninggal dan menyerahkan pesantren ini kepada ayah, ayah terlalu sibuk, ayah tidak peduli padaku, Ayah menjadi kasar kepada bunda." Ia membuang napasnya panjang, lelah dengan kehidupannya ini.

"Ayah tak pernah tau bagaimana pertumbuhan putramu ini, aku begini karena ingin membuka mata ayah, aku begini ingin memancing kasih sayang ayah. Namun, nyatanya ayah malah menyalahkanku, menyalahkan bunda. Ini salahmu, ayah!" Napasnya memburu, ia menjambak rambutnya sendiri, frustasi.

Tyarr!

Lagi, entah untuk yang ke berapa kali cerminnya pecah karena ulah tangannya sendiri. Darah kembali menodai tangannya, tak apa, ini tidak sakit baginya.

"Iqbal ...." Bunda yang sedari tadi melihat apa yang dilakukan putranya segera menghampirinya, takut terjadi apa-apa.

"Bunda? Apa Bunda mendengar semuanya?" Wanita itu tak memperdulikan sama sekali ucapan putranya, ia segera meraih tangan Iqbal.

"Kamu jangan lakuin ini lagi, ya? Bunda sayang kamu Iqbal, Bunda ga mau kamu kenapa-napa." Wanita berhijab itu segera memeluk tubuh layu milik Iqbal.

"Sebentar, ya, Bunda telfon Om Zafran." Iqbal hanya mengagguk pasrah, ia tak mau Bilqis menghawatirkan dirinya, pasti hal itu akan berpengaruh pada kesehatannya.

Selang beberapa waktu Om Zafran sudah datang lengkap dengan peralatan kesehatannya.

"Iqbal, kamu itu kurang kerjaan atau gimana, sih? Ini tangan, loh," ucap pria berjas putih itu sambil mengobati tangan Iqbal.

"Yang bilang ginjal siapa?" balas Iqbal pelan.

"Kamu itu, dibilangin malah ngeledek, kamu ngeselin tau, Bal!" Pemuda itu hanya menggidikkan bahunya tak peduli.

"Udah, jangan diulangin lagi, kalo diulangin lagi Om ga mau bantu ngobatin kamu." Pria berjas putih itu segera berdiri dari duduknya.

"Iqbal nggak minta di obatin, kok! Bunda tuh." Pria itu kembali duduk di samping keponakannya.

"Bunda kamu itu lagi sakit, dia ga boleh banyak pikiran, dia ga boleh kebanyakan beban, kamu nggak kasian, ha? Jadilah anak yang baik, yang berbakti kepada orang tua, ga papa nakal di usia remaja, itu wajar, tapi ada batasnya, oke? Jangan sampai merugikan orang lain." Iqbal masih diam, ia memang kotor, entah bagaimana ia akan hidup? Entah bagaimana jalan hidupnya ini?

"Iya, Om, makasih." Pria itu mengangguk dan tersenyum hangat.

"Om pamit dulu, di rumah ga da orang soalnya."

"Makanya nyari istri, Om ... seneng bener ngejomblo," ejek Iqbal disertai tawa.

"Alah, kayak kamu punya pacar aja," balas Om Zafran tak mau kalah.

"Pacar mah nggak penting, Om, sama Allah aja aku masih jauh."

"Bagus, ini baru keponakan Om, mendekat, dong kalo jauh, mah."

"Iya deh iya." Mereka pun tertawa.

🥀

"Obat oh obat, mengapa kau yang datang dalam hidupku? Mengapa bukan Iqbal saja? Eh." Detik selanjutnya gadis berhijab itu tertawa, ia benar-benar sudah gila.

Monster Salju dan Bidadari SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang