6🖤

77 4 0
                                    

"Duduk kamu!" Iqbal menurut.

"Kamu itu Gus, anak kyai! Mau ditaruh mana muka Ayah, ha?!" Iqbal hanya diam. Tidak penting, pikirnya.

"Tidak salah ayah lebih menyayangi Yusuf daripada kamu." Seperti disambar petir, bahkan Iqbal ingin sekali menghilangkan nyawanya saat itu juga, padahal sudah jelas Iqbal-lah darah dagingnya

"Kamu sama sekali tidak bisa diatur, Iqbal! Kenapa kamu tidak bisa seperti Yusuf? Dekat dengan Allah, sedang---"

"Sudah, Abah. Abah berlebihan." Iqbal memutar bola matanya malas. Dia sangat pintar mencari muka di depan ayahnya, pikir Iqbal kesal.

"Yusuf, bisa kamu ajari Iqbal untuk---"

"Sebuah kesadaran itu dihadirkan oleh diri sendiri, bukan orang lain. Sudah cukup Ayah membanding-bandingkan aku dengan santri kesayangan Ayah itu. Assalamu'alaikum!" Iqbal berlalu, ia sudah muak dengan mereka. Apa pun yang ia katakan pasti tidak akan berguna sebelum mereka melihat dengan mata mereka sendiri bahwa Iqbal adalah hamba Allah yang taat.

"Waalaikumsalam."

Brukk!

Tak sengaja pria yang emosinya tengah meluap itu menabrak seseorang. "Maaf." Iqbal segera berlalu.

"Iqbal, kemarilah!" panggil Ustaz Zakir, seseorang yang ia tabrak di depan pintu beberapa detik lalu.

"Iya, Ustaz."

"Sudah lebih baik?" tanyanya tiba-tiba.

"Apanya?"

"Hati."

"Tidak."

"Cinta?"

"Ada."

"Bunda?"

"Lebih dari segalanya." Ustaz Zakir tersenyum, ada-ada saja remaja yang satu ini.

"Kau bisa jatuh cinta, Iqbal?"

"Tentu saja, aku laki-laki normal, Ustaz."

"Bukan pada Ustazah Zaenab, 'kan?" Iqbal tertawa, mungkin pria ini cemburu istrinya ia goda setiap hari.

"Tentu saja tidak. Aku hanya bermain-main dengan Ustazah Zaenab, Ustaz jangan marah padaku," ucapnya memberi penjelasan agar terhindar dari amukan suaminya.

"Tidak ada alasan untuk saya marah, Iqbal. Mungkin karena itu bisa membuat Ustazah Zaenab dan anak kita bahagia," jawabnya dengan senyuman yang terlihat ditutup-tutupi.

"Ustazah Zaenab hamil?!" tanya Iqbal terkejut.

"Alhamdulillah, Allah mengabulkan do'a kami setelah dua tahun kita menanti," jawabnya dengan senyum hangat yang mulai mengembang, bersyukur pada Tuhannya.

"Selamat buat Ustaz dan Ustazah." Iqbal menjabat tangan pria di hadapannya.

"Terimakasih, Iqbal."

Tak berselang lama, terdengar suara seseorang yang tengah batuk di ruangan sebelah, membuat keduanya menoleh ke arah pintu di sisi kanan mereka. "Bunda!" Iqbal pun segera menghampiri wanita bermuka pucat itu. "Bunda di kamar saja, istirahat. Sebentar lagi ayah dan Iqbal akan mengantar bunda ke rumah sakit," ucap anak laki-laki yang mengkhawatirkan ibunya.

"Tidak perlu, Iqbal. Bunda tidak apa-apa," ucap wanita itu sambil menahan batuknya.

"Atau Iqbal telfon Om Zafran aja?" tawarnya jika memang sang ibu tidak mau pergi ke rumah sakit.

"Jangan, dia pasti sibuk, jangan mengganggu pekerjaannya," jawabnya memikirkan kesibukan sang adik.

"Iqbal, tolong ambilkan bunda minum." Putranya pun mengangguk mengiakan, lalu segera berjalan menuju dapur.

Monster Salju dan Bidadari SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang