33🖤

73 7 3
                                    

Akhirnya Reza berhasil menemukan rumah Meisya setelah berputar-putar kesana kemari. Wajar saja, selama bertahun-tahun mereka berteman, Meisya tidak pernah memberi tahu identitasnya kepada teman-temannya.

Terdengar bel rumah yang berbunyi, Zul yang tengah bersantai di ruang keluarga bersama istrinya pun segera beranjak dan membukakan pintu.

"Assalamu'alaikum, Bang." Zul menahan dari bawah ke atas.

"Waalaikumsalam, siapa, ya?"

"Emm, saya temennya Meisya, Bang. Apa bener Zera ada di sini?" Zul berpikir sejenak, mungkin teman perempuan Meisya tadi bernama Zera, pikirnya.

"Oh, iya, cewek yang rambutnya panjang." Reza pun mengangguk mengiakan.

"Apa saya boleh masuk? Saya ingin mengajak Zera pulang," jelasnya dengan sopan, ia tahu bagaimana pandangan keluarga seperti ini jika melihat seorang wanita dan pria yang bukan mukhrimnya saling berdekatan tanpa adanya hijab.

Benar saja, Zul mengernyitkan dahinya. "Saya saudara angkatnya, Bang." Mendengarkan hal itu, barulah Zul mengangguk paham dan mempersilahkan Reza masuk.

Diantar lah Reza ke depan pintu kamar milik Meisya. "Ra ... ini aku, pulang yuk, Ra! Mama sama papa khawatir banget sama kamu."

"Enggak, Za! Aku ga mau pulang! Bahkan sekarang aku nggak paham apa yang disebut pulang ataupun rumah, aku bukan siapa-siapa sekarang." Reza yang mendengar kalimat itu, hatinya terasa teriris-iris.

"Kita bisa nikah, aku bakal tanggung jawab, Ra. Ini salahku, aku minta maaf." Tidak ada jawaban dari luar sana.

"Pergi, Za! Aku pengen nenangin diri aku dulu." Reza menghela napasnya kasar.

"Hmm yaudah, aku pulang dulu. Nanti malem aku jemput lagi, kita jalan-jalan berdua, gue janji, Ra." Hati gadis itu sedikit menghangat. Namun, rasa kecewanya masih menghantui.

"Besok aku bawa kamu ke makam orang tua kandung kamu. Aku pulang dulu, Ra. Aku sayang kamu, aku cinta kamu, aku rindu tawanya Zera. Sampai nanti." Mendengar itu, membuat Zera bertambah menangis.

Zul yang mendengar semua kalimat yang keduanya ucapkan pun merasa agak aneh, apa maksud mereka?

🥀

Setelah puas mengawasi Yusuf, Iqbal memutuskan untuk bertemu dengan kedua sahabatnya, yakni Gavin dan Oky.

Kini ketiganya sudah berkumpul di tempat kecil yang mereka sebut basecamp Goblokers. "Kenapa, Bal? Lo nelpon gue keknya penting banget," ucap Gavin yang baru saja mendudukkan dirinya di hadapan Iqbal.

"Emm, kalian tau Yusuf, 'kan?"

"Saudara tiri lo itu?" tebak Oky.

"Nggak sudi gue ngakuin dia saudara, tapi lo bener," jawab Iqbal tidak terima.

"Terus? Kenapa? Apa lagi yang dia rebut dari lo?" Iqbal tersenyum, bangga dengan Gavin yang hafal dengan semua masalah yang dihadapi Iqbal selama ini.

"Bukan, bukan. Santai, Vin." Pria itu tertawa kecil. "Yusuf itu Langit." Tidak ada respon, Gavin dan Oky hanya menampakkan ekspresi herannya.

"Langit? Langit semesta?!" Iqbal hanya mengangguk santai. "Lo serius?" tanya Oky lagi.

"Iyalah, serius, gue tadi sengaja ngawasin Yusuf sampek rumahnya yang ada di perumahan elite." Keduanya pun mengangguk paham. Walaupun ini sebuah rahasia yang cukup besar untuk Langit. Namun, hal ini bukanlah urusan Goblokers ataupun Elang, mereka tidak memiliki hak untuk ikut campur dengan Geng Semesta.

Monster Salju dan Bidadari SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang