26🖤

56 6 0
                                    

"Satu hari setelah pernikahanmu dengan wanita itu, aku dinyatakan hamil. Aku malu, Bakhtiar, aku malu melahirkan tanpa seorang ayah! Hingga aku ... menemukan kabar tentang keluargamu yang bahagia. Aku enggan menemuimu dan mengemis belas kasihan kepada keluargamu untuk mengembalikan keluarga kecil yang sudah kita bangun sebelumnya."

Hening, ketiga pria yang mendengar cerita itu pun terlihat tercengang. "Aku kira hari ini tidak akan tiba, aku sengaja mengirim Yusuf kemari dan kau malah menyayanginya dengan sepenuh hati, apakah itu yang disebut dengan ikatan batin seorang anak dan ayah? Namun, luka tetaplah luka, Bakhtiar, aku tidak akan lupa dengan keputusanmu untuk menceraikanku dan menikahi wanita itu."

"Aku kembali padamu di waktu yang tepat, bukan?" Tidak ada jawaban.

Dengan kabar ini, bukan hanya bunda dan kekasih hati Iqbal yang pergi, tapi juga dengan kasih sayang ayahnya. Mungkin Iqbal akan kehilangan rasa itu sepenuhnya, begitu pikirnya.

Iqbal pun segera mendekati ketiganya. "Ayah." Semua mata tertuju pada Iqbal. "Jadi ... Yusuf itu putra Ayah?"

"Ya, dia kakakmu, Iqbal."

Iqbal menyeringai. "Enggak, kita terlahir dari rahim yang berbeda."

"Iqbal!"

"Bahkan sebelum Ayah tahu kabar ini, Ayah udah sayang sama Yusuf melebihi kasih sayang Ayah ke Iqbal. Kalo Ayah sama tante pengen ngembaliin keluarga kecil kalian yang sempet Iqbal dan bunda rampas ... silahkan, Iqbal bakal pergi, Yah. Ternyata kelahiran Iqbal adalah sebuah kesalahan di mata kalian." Tanpa mengucapkan salam, pria itu pun berlalu dengan mata yang berkaca-kaca. Meninggalkan Cristi dan Yusuf dengan hati yang gembira serta Bakhtiar yang merasa kasihan dengan putra bungsunya itu.

Lengkap sudah penderitaan Iqbal. Ia sudah kehilangan bunda, kekasih, dan kasih sayang ayahnya secara bersamaan.

Malam itu Iqbal memutuskan untuk pergi dari acara pesantren ayahnya. Kini ia tengah mengendarai motor sport-nya dengan kecepatan tinggi tanpa tahu tujuannya. Entah kemana ia akan meluapkan semua emosinya?

Mungkin ia akan bermalam di markas Elang, pikirnya. Saat ia tiba di pertigaan dan hampir membelokkan motornya, ia melihat rumah berlantai dua itu. Teringat saat motornya mogok di gang sempit itu lalu di temani seorang satpam yang diperintahkan oleh Meisya, Iqbal teringat betul dengan kejadian itu.

Perlahan ia memundurkan motornya hingga di depan gerbang rumah Meisya. Ia segera memanjat pagarnya dan berhasil masuk. Ia teringat di mana tempat kunci rumah itu disimpan karena Zul pernah memberi tahunya saat pria itu dimintai tolong untuk menjaga Meisya yang tengah sakit dari luar ketika Zul dan istrinya pergi.

Ia pun mencoba menggali tanah di salah satu pot bonsai di sana dan apa yang ia harapkan benar adanya, kunci rumah itu ada di sana. Tanpa pikir panjang Iqbal segera memasuki rumah itu, tujuannya hanya satu, memeriksa kamar milik Meisya walaupun ia yakin tidak akan ada gadis yang berbaring di sana lagi.

Kamar tidur dengan cat biru tua itu terlihat begitu terang dan rapi setelah Iqbal menghidupkan saklar lampunya. Ia pun berjalan menuju kasur dan mendudukinya, mengusap permukaannya dan memandang sekitar. "Gue kangen, Syah," lirihnya terdengar begitu lemah.

Tak sengaja matanya menangkap sebuah foto seorang gadis kecil yang tersenyum di depan kamera bersama kedua orang tuanya, Iqbal meraihnya. "Gue rindu senyuman lo, Syah, gue rindu lo yang tertawa lepas, Aisyah yang ceria, gue rindu sama lo, Aisyah ...!"

"Iqbal itu salju! Dingin tapi indah. Meisya suka!" Kalimat itu lagi, terngiang-ngiang di telinganya.

"Meisya itu bidadari. Pemalu, tapi cantik luar dalem, berbeda dengan gadis lain. Iqbal cinta," gumamnya pelan, tatapannya terlihat begitu tak berdaya, batinnya tak kuat lagi.

Itulah jawaban yang sama dengan waktu itu. Andai saja Iqbal bisa mengucapkan kalimat itu lagi di depan Meisya, ia pasti akan lebih baik. Namun, takdir tetaplah takdir, kematian adalah takdir yang tak dapat diubah. Ia masih berharap semuanya salah, ia bisa menemui gadis itu lagi.

Iqbal kembali melangkah, membuka laci meja belajar milik Meisya, barang kali ada sesuatu yang dapat mengikis rasa sakitnya, begitu pikirnya. Namun, yang ia temukan hanyalah beberapa pil berwarna merah tanpa bungkusannya. Iqbal mengernyit.

"Gadis nakal," gumamnya. Pasti Meisya tidak mau meminum obatnya dan menyimpannya di laci itu supaya kakaknya tidak mengetahui bahwa Meisya tidak mematuhi perintah. Mungkin hal itulah yang membuat keadaan Meisya memburuk.

🥀

"Ky." Pria itu mendongak, menatap sepupunya penuh tanda tanya.

"Gue nggak tau ini apa, tapi gue ngerasain hal yang belom pernah gue rasain sebelumnya." Oky menaikkan salah satu alisnya, bingung, apa yang gadis itu katakan? Pikirnya.

"Gue pengen jadi seorang mualaf." Oky membelalak.

"Na!"

"Gue tau! Gue tau nggak seharusnya gue ceritain ini ke lo, tapi gue bingung, Ky, gue bingung harus cerita ke siapa lagi!"

"Lo udah pikirin ini mateng-mateng? Ini bukan perkara sepele! Ini masalah dunia akhirat, Na!"

"Gue ... ga tau, Ky. Gue mikirin orang tua gue."

Pria itu memeluk sepupunya. "Lo udah dewasa, Na, lo berhak nentuin pilihan lo sendiri. Agama dan kepercayaan itu masalah pribadi, lo nggak boleh percaya Tuhan dengan alasan seseorang. Mantepin hati lo, jangan sampek lo salah pilih atau menyesal di kemudian hari." Gadis itu menangis, hatinya seakan memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang.

Ia pikir, ia akan bersyahadat jika hatinya sudah damai, ia mantap dengan kebesaran Allah. Ini bukanlah hal yang bisa dirasakan semua orang, ia mulai mempercayai islam karena perjalanannya. Ternyata pertemanannya dengan Gavin, Iqbal, Bilqis, Zakir, dan Zaenab membawa perubahan yang besar dalam hatinya.

🥀

Zera masih saja menangis di kamarnya, memandangi sebuah foto di ponselnya yang memperlihatkan tiga gadis dan seorang pria yang memakai seragam SMA, keempatnya tersenyum lebar, memperlihatkan kegembiraannya "Meisya ... gue kangen sama lo, kenapa, sih lo pergi secepet ini?" Gadis itu masih sesenggukan hingga suara pintu yang dibuka mengagetkannya, ia pun segera menyeka air matanya.

"Ra ... tidur, dah malem," ucap Reza lembut. Tidak ada jawaban, gadis itu masih mengeluarkan air mata.

Reza segera mendekat dan duduk di depannya, ia menyeka cairan bening itu. "Tuan putri nggak boleh nangis, nanti diketawain nyamuk," ucapnya berusaha menghibur hati saudaranya.

Tanpa aba-aba Zera segera memeluk pria itu dari samping, membuat Reza menahan napasnya sebentar karena merasa kaget. Jantungnya berdetak kencang, sebenarnya rasa apa ini? Begitu pikirnya.

"Meisya ...."

"Cup cup cup, udah. Kita nggak boleh terlalu larut dalam kesedihan, yang hidup sudah pasti akan mati, Ra."

Hening, Zera masih memeluk erat tubuh kekar itu. "Tidur yuk! Gue temenin, ntar gue peluk terus. Boleh, 'kan?" Gadis itu mendongak dan mengangguk lemah.

Dalam hatinya, keduanya selalu berharap mereka bukanlah sepasang saudara kembar, mereka tidak akan rela jika salah satunya akan menemukan orang baru yang disebut kekasih. Mereka tidak ingin itu.

🥀

Budayakan VOTE sebagai uang parkir!
Tau kan gimana rasanya di read doang tanpa balasan? _-

_CittaBlueria🗿

Monster Salju dan Bidadari SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang