Satu tahun kemudian ....
Akhirnya di usia ke empat bulan kehamilannya, Meisya kini sudah benar-benar mengkhatamkan hafalannya. Wanita itu memeluk suaminya dengan perasaan lega.
Memang ujian seorang penghafal Al-Quran itu tidak bisa disamakan dengan ujian lainnya. Ujian sakit, kisah cinta, dan keluarga, semuanya telah Meisya taklukkan bersama suaminya, Iqbal dan kini mereka dapat menuai hasilnya dengan kegembiraan hati yang tak terhingga.
Meskipun status mereka adalah sepasang suami-istri. Namun, satu tahun terakhir ini Iqbal lebih memilih kembali mengirim Meisya ke pesantren untuk menyelesaikan hafalannya. Pria itu tidak ingin begitu menuntut kewajiban seorang istri kepada Meisya sebelum wanita itu mengkhatamkan Al-Quran-nya, Iqbal merasa bersalah telah menikahi Meisya dengan waktu yang terburu-buru, memang seperti itulah harusnya menjadi seorang suami dari penghafal Qur'an, Iqbal harus bisa memangku dan menyeimbanginya.
"Sekarang aku dah boleh pulang sama kamu, 'kan?" ucap wanita itu dengan pipi yang digembungkan, membuat Iqbal gemas saja.
"Iya, sayang, boleh. Selamat, ya." Tidak ada jawaban, wanita itu kembali memeluk tubuh kekar milik suaminya. Mungkin sudah bawaan bayi, di masa kehamilannya ini Iqbal merasa istrinya lebih manja dari sebelumnya.
Wanita itu kembali mendongak menatap mata pria tinggi itu. "Tapi janji setiap malem bacain surat Yusuf sama Maryam, ya?" Iqbal tersenyum mendengarnya.
"Iya, bumilku sayang." Meisya tersenyum dibalik dada bidang suaminya, akhirnya setelah bertahun-tahun dalam penantian, ia bisa benar-benar memiliki dan bermanja dengan pria yang ia harapkan ini.
❄
"Bagaimana, Iqbal?"
"Ah, maafkan Iqbal, Ayah, tapi Iqbal merasa belum pantas untuk menjadi seorang pengurus pondok-pesantren, Iqbal saja masih menjadi pemimpin geng motor, para santri-santri dan walinya pasti belum bisa mengerti dengan jati diri Iqbal." Sang ayah menghela napasnya panjang.
"Bukannya Iqbal tidak mau, Ayah. Namun, Ustadz Zakir jauh lebih pantas untuk itu." Zakir yang sedari tadi diam tiba-tiba batuk setelah tersedak ludahnya sendiri. Pria itu menatap adik angkatan membelalak.
"Benar begitu, Ustadz Zakir?" tanya gus Iqbal sekali lagi.
"Iya, Yah, saya lihat Ustadz Zakir sudah siap dan matang untuk menjadi pengurus pesantren berikutnya."
"Baik, Zakir. Keputusan saya jatuh padamu karena memang keadaan Iqbal saat ini dapat mempengaruhi cara berpikir santri dan wali santri."
❄
"
Laqad kāna fī qaṣaṣihim 'ibratul li'ulil-albāb, mā kāna ḥadīṡay yuftarā wa lākin taṣdīqallażī baina yadaihi wa tafṣīla kulli syai'iw wa hudaw wa raḥmatal liqaumiy yu'minụn. Shadaqallahul adzim." [Q.S. Yusuf (12) : 111]
"Besok jadi ketua Geng Elang kayak Ayah, ya, Nak?" ucap Iqbal sambil mencium perut istrinya. Seketika itu Meisya mendongak dan menatap suaminya nyalang.
"Ga mau! Ga boleh!"
"Ga pa-pa, Sayang, kamu aja suka sama yang pemimpin geng motor kayak aku."
"Ihh! Ini beda lagi ceritanya. Kamu kenapa nggak lengser kayak Kak Irsyad aja? Dulu Kak Irsyad aja lengser demi nikah sama Kak Fatimah, biar dia bisa fokus sama keluarganya." Iqbal tertawa kecil, istrinya lucu sekali, pikirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Monster Salju dan Bidadari Surga
روحانيات❗BELUM DIREVISI❗ "Iqbal itu salju! Dingin tapi indah. Meisya suka!" Kalimat itu lagi, terngiang-ngiang di telinganya. "Meisya itu bidadari. Pemalu, tapi cantik luar dalem, berbeda dengan gadis lain. Iqbal cinta," gumamnya pelan, jawaban yang sama d...