Malam ini Akhtar mengurung dirinya dikamar. Lebih baik seperti ini, daripada dia harus melihat sebuah keluarga harmonis yang sedang berkumpul dengan seorang anak yang selalu bermanja dengan orang tuanya. Hatinya selalu sakit melihat itu, entah mengapa.
Raganya dia bawa ke arah balkon kamarnya. Tangannya tergerak untuk membuka jendela besar penghubung kamar dan balkon. Kakinya melangkah keluar, dia berdiri didepan pagar pembatas balkon. Kedua tangannya direntangkan. Dia menghirup udara segar malam hari. Akhtar ingin hidup damai, dia ingin kehidupannya yang dulu. Saat Papa memanggilnya 'jagoan' dan saat Mama yang selalu menemaninya ketika bermain dan belajar.
Akhtar menghembuskan nafas lelah, dia lelah, sangat lelah. Dia menengadah, memandang gelapnya langit malam. Gelap seperti hidupnya tanpa sosok Ibu dan hilangnya sosok Ayah.
"Mama, Akhtal capek boleh?" monolognya.
"Akhtal mau ikut Mama aja, disana pasti indah. Hidup Akhtal damai, dan pasti Akhtal bahagia sama Mama, jemput Akhtal mau Ma?"
Matanya memanas, sebentar lagi air matanya pasti menetes membasahi pipi tirusnya. Dia memang lemah jika menyangkut orang tuanya. Diluar terlihat baik - baik saja, tetapi jauh didalam hatinya, dia menangis.
Akhtar melihat ke bawah balkon, di bawah sepi. Tangannya mencengkram kuat pembatas balkon. Dia melirik ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada orang yang melihatnya.
Akhtar terkekeh pelan, "kalo ada olang, Akhtal dikila mau bunuh dili kali ya," ucapnya.
"Sedih kalo dicelitain mah, kasian banget ya hamba. Tapi ya kali Akhtal loncat dali sini! Bahagia enggak, sakit iya."
"Bisa gila juga lama - lama, ngomong sendili, haha!" Akhtar terus bermonolog.
Tak sengaja matanya menangkap sosok keluarga yang sepertinya sedang bersiap untuk pergi.
"Papa, kita mau kemana sih?"
"Nanti kamu tahu sendiri, dan pastinya kamu suka!" ucap seorang pria.
"Ya udah deh. Pa, makasih ya," ucap anak laki - laki sambil memeluk Ayahnya.
"Apapun untuk anak Papa."
Sayup - sayup Akhtar mendengar obrolan orang dibawah sana. Itu Ayahnya, dan anak laki - laki itu Dion, Kakaknya.
Rupanya mereka benar - benar pergi berlibur setelah Dion juga Akhtar selesai ujian serta resmi lulus dari SMP. Dan lagi - lagi Arman tidak mengajak Akhtar. Selalu seperti itu.
Akhtar tertawa sumbang, "haha.. 'Apapun untuk anak Papa', sekalipun itu luka ya Pa? Makasih Papa," ucapnya sambil tersenyum.
Lamunannya buyar kala seseorang mengetuk pintu kamarnya. Akhtar beranjak dari balkon dan menutup jendelanya, lantas membuka pintu dan melihat seseorang disana.
"Bibi, ada apa?" tanyanya pada Bi Surti yang berdiri didepan pintu.
"Bibi tahu Aden belum makan, ayo ikut Bibi ke bawah. Aden harus makan sebelum perutnya sakit lagi."
Bi Surti menarik lengan Akhtar untuk mengikutinya, beliau membawa Akhtar ke dapur. Tak ada perlawanan dari Akhtar, dia memang lapar.
Akhtar hanya duduk memperhatikan Bi Surti yang sedang menyiapkan makannya.
"Den," lirih Bi Surti.
"Iya Bi?"
"Maafkan Bibi. Bibi cuma punya nasi, lauknya habis. Maaf, maaf," Bi Surti kira lauknya masih ada, ternyata semua habis, hanya tersisa sepiring nasi.
Akhtar tersenyum manis, senyum penuh luka menurut Bi Surti. "Gapapa Bi. Kan masih ada galem, Akhtal pake itu aja enak pasti!" yakinnya.
Bi Surti tak kuasa, dengan segera menarik Akhtar ke dalam pelukannya. Akhtar hanya diam, pandangannya kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHTAR
Teen FictionAkhtar namanya, diusia yang terbilang masih sangat belia, dia harus merasakan pahitnya kehidupan. Menjadi bayangan dikeluarga adalah takdirnya, bahkan Ayah kandungnya sendiri tidak mau mengakuinya sebagai anak. Ini kisah Akhtar, bocah cadel yang te...