GO TO HOME

10.9K 1.1K 122
                                    

Jangan lupa pencet tombol melah, tombol melah..
Becandaaa.. Pencet gambal bintang di bawah kili aja ya, Kak!
~
AKHTAR
.
.
.

"Nak, bangun sayang." Arum membangunkan Akhtar yang tertidur pulas di kamarnya.

"Masih ngantuk, Ambu," gumam Akhtar pelan.

Arum tersenyum, "iya. Bobonya nanti terusin di mobil, ya?"

Mendengar itu, Akhtar membuka matanya perlahan. Dengan sedikit menyipitkan matanya, dia memandang heran pada Arum.

"Kok di mobil? Kita mau jalan - jalan ya, Ambu?"

Arum tersenyum menanggapi cucunya, "Iya, Aa' siap - siap dulu yuk!"

"Yeeaaayy!" Akhtar memekik senang.

Setelah semua siap, keluarga Wijaya bersiap untuk pergi. Semua ikut, kecuali Farhan yang masih di Jakarta.

"Abah, Yayah gak diajak?"

Adikara tersenyum, tangannya tergerak mengusap pucuk kepala Akhtar yang duduk di pangkuan Arum.

"Kita jemput Ayah dulu, ya?" jawab Adikara yang berhasil membuat Akhtar lagi - lagi tersenyum bahagia.

Dengan memakan waktu hampir dua jam setengah, mereka akhirnya sampai di depan sebuah bangunan bernuansa serba putih. Akhtar mengernyitkan dahinya heran.

"Kok ke sini?"

Semua bungkam. Entah apa yang harus mereka katakan pada Akhtar.

"Kok diem?" Akhtar kembali bertanya.

"Ambu?" Akhtar mendongak menatap Arum yang memangkunya.

"Gapapa, kita ke dalam dulu yuk, sayang!" Arum menuntun Akhtar untuk keluar dari mobil.

Semua berjalan dengan keadaan hening. Akhtar sampai sekarang masih dengan tatapan bingungnya. Sedangkan Adikara, Arum, Firman, Arshad juga Abidzar memilih bungkam.

Tak lama mereka sampai di depan salah satu pintu ruangan. Pintu terbuka menampilkan seorang pria paruh baya yang tersenyum dan mempersilahkan masuk.

Dan....

Seketika tubuh Akhtar menegang. Anak itu terdiam kaku melihat pemandangan di depannya.

"Ayah...," suaranya terdengar sangat lirih. Akhtar menghampiri Farhan yang terbaring lemah di ranjang. Berbagai macam alat medis terpasang di tubuhnya.

"Ayah...,"

Liquid bening tak dapat lagi tertahan dari pelupuk mata indahnya. Akhtar berjinjit agar dapat melihat dengan jelas wajah pucat Farhan. Tangan kecilnya meraih tangan dingin Farhan, lalu menempelkan pada pipinya.

"A-yah, bangun," pecah sudah tangis Akhtar. Dia meraung memanggil Ayahnya.

Arum mendekat dan merengkuh tubuh Akhtar yang bergetar. Seketika tubuhnya lemas, dan meluruh dalam pelukan Arum. Adikara mengelus punggung cucunya, seraya memberi kalimat - kalimat penenang.

AKHTARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang