"Selamat Pagi anak - anak! Selamat datang dikelas X MIPA 1, dan perkenalkan saya Bu Hanum sebagai wali kelas kalian," ucap wanita paruh baya yang masih terlihat muda.
"Pagi Bu!" jawab mereka serempak.
Tok! Tok! Tok!
Terdengar suara pintu diketuk dari luar. Bu Hanum beranjak membukakan pintu.
"Ya ampun, Nak. Kamu sama siapa kesini, hm? Kok pakai baju SMA? Punya Kakakmu ya?" tanya Bu Hanum pada seorang anak.
Seisi kelas mengarahkan atensinya pada mereka. Siswa kelas itu terkejut melihat siapa yang datang mengetuk pintu. Namun, tersangka disana hanya menampilkan jejeran gigi rapinya sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal.
"Hehe, sa-saya mulid balu kelas sepuluh Bu, ini kelas MIPA satu kan?" ucapnya.
"Anak - anak, ada yang bawa adik ke sekolah, heh?"
Mereka menggeleng. Bu Hanum kembali memperhatikan anak tadi dari bawah kaki hingga atas rambutnya.
"Kamu cari siapa, Nak? Kakakmu tidak ada disini," ucap Bu Hanum lembut.
Anak itu kembali menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "aduh, anu Bu. Saya Akhtal, mulid balu kelas sepuluh. Saya kebagian kelas MIPA satu. Dan maaf saya telat, angkotnya ngetem dulu tadi."
Ya, dia Akhtar. Usianya yang memang masih seumuran anak SD, ditambah dengan badannya yang kecil juga tak terlalu tinggi, siapa pun pasti mengira Akhtar anak kecil yang nyasar masuk SMA. Pipinya tirus, hidung mancung, mata bulat lucu, dan terdapat dimple yang hanya ada dipipi kanannya. Semua itu membuat Akhtar terlihat seperti anak kecil yang menggemaskan. Oh ya, jangan lupakan rambut hitamnya yang berponi.
Kini Akhtar sudah mulai bersekolah dijenjang SMA. Waktu liburan telah usai, sekarang waktunya menuntut ilmu.
"Kelas sepuluh?" Bu Hanum masih terlihat keheranan.
"Iya, dulu saya ikut akselelasi jadinya sekalang kelas sepuluh," ucap Akhtar.
"Ya sudah, kamu masuk. Tapi karena Ibu kepalang kepo, kamu kenalan dulu didepan ya!"
Akhtar mengangguk, "ni Ibu - ibu dah tua juga, masih aja kepo!" gumamnya dalam hati.
Seluruh siswa menatap Akhtar dengan mulut sedikit menganga.
"Hi!" sapa Akhtar canggung dengan tangan kecilnya dikibas - kibaskan.
"Huweeeee demi apa? Ada bocah dikelas gua! Aaaa Dek sini yu sama tante!"
"Haduh halaaahh, karung mana karung. Gua karungin juga lo lama - lama, gumush parah lo bocil!"
"Ya ampun! Demi Dewa Neptunus! Lo kagak nyasar kan Cil?"
"Gais! Sabi nih bocil kita ajak maen!"
Akhtar meringis sendiri mendengar beberapa respon teman kelasnya. Dia jadi gugup, seusil - usilnya Akhtar yang terkadang tak kenal malu, jika ditatap intens seperti itu ya gemetar juga.
"Em, Hallo! Kenalin, g-gua-"
"Ekhem, jangan pakai bahasa gaul, pakai bahasa Indonesia yang baik dan benar, agar sopan," Bu Hanum baru memperlihatkan sifat aslinya, tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHTAR
Teen FictionAkhtar namanya, diusia yang terbilang masih sangat belia, dia harus merasakan pahitnya kehidupan. Menjadi bayangan dikeluarga adalah takdirnya, bahkan Ayah kandungnya sendiri tidak mau mengakuinya sebagai anak. Ini kisah Akhtar, bocah cadel yang te...