7. Risi

1.1K 113 0
                                    

🌵

Beberapa jam sebelumnya...

Setelah membaca dan menyiapkan map-map status pasien, para perawat bangsal anak Kenanga menunggu dokter Anak yang akan melakukan visite pagi. Indah, Ajeng dan Raina sudah stand by di meja perawat.

"Jeng, infus adek Ilham di kamar 3 udah di ganti?" Tanya Raina yang sedang menulis sesuatu di sebuah buku.

"Udah Mbak tadi pagi." Ajeng melihat sekilas ke Raina yang duduk di meja. Kepalanya di topang dengan tanan kiri. Ajeng menyenggol Indah yang sedang sibuk mengetikkan sesuatu di komputer. Mereka lirik-lirikkan.

"Mbak, adek Natasya kata mamanya suka ngeluh sakit di bagian perut." Kata Indah. Dia juga melihat ada yang aneh dengan Raina. Pucat dan lemas.

"Yang baru buka jahit itu ya? Nanti biar dokter Adrian langsung cek. Makannya lancarkan?" Raina memijit kepalanya. Ia tak sadar sedang diperhatikan oleh kedua juniornya.

"Lancar mbak. Kata mamanya Natasya nggak pantang makan. Mbak Raina? Mbak sakit?" Indah tidak bisa mengalihkan pikirannya dari Raina yang pucat.

"Ya? Oh, dikit. Kepala mbak nyut-nyutan dari tadi." Raina salah tingkah diperhatikan. Ia tetap menulis dan menunduk ke buku menyamarkan kegugupannya.

"Udah makan obat mbak? Mbak udah sarapan kan?" Ajeng ikut nimbrung. Kasihan melihat Raina yang seperti berpura-pura kuat dan tak acuh.

Ia teringat tadi ketika sarapan hanya habis beberapa suap nasi dan meninggalkan sisanya di atas meja. Selain karena terburu-buru agar anak-anak tidak telat, selera makannya juga mendadak hilang.

"Udah. Kalian tenang aja." Raina menjawab sambil tersenyum.

"Mbak Raina, apa aku bilang. Mending mbak istirahat aja. Wong pucet gini." Riri tiba-tiba keluar dari ruang perlengkapan dan membawa seperangkat pengukur tensi digital.

"Sini Mbak. Aku ukur tensi Mbak ya." Riri duduk bersebelahan dengan Raina.

Raina terharu dengan semua rekan kerjanya yang ternyata perhatian padanya. Raina mengangguk pasrah, tapi berhasil membuat paginya yang suram menjadi lebih ceria, sedikit.

"Aku kalo sama Riri ini nggak bisa berkutik dibuatnya." Ucap Raina masih berusaha meringankan suasana ketika semua mata tertuju padanya.

"Mbak tinggal duduk manis, biar kami yang mengerjakan semuanya. Oke?" Riri mulai memasangkan manset dan mengeratkannya. Ia menekan tombol biru.

"130/90 mbak."

"Tinggi itu mbak," Ucap Ajeng yang memperhatikan dari tadi. "Aku bikinin teh hangat ya mbak. Sebentar." Dia langsung melesat masuk ke ruang khusus perawat.

Makasih Ya Allah aku masih dikelilingi oleh teman-teman yang baik.

"Eeh, Jeng. Jangan. Nggak perlu."

"Apa yang nggak perlu?" Semua mata melihat ke arah suara. Dokter Adrian baru datang dengan menenteng tas kerja di tangan kanannya dan empat buah gelas minuman berlogo sapi hitam putih dalam dua kantong plastik berbeda di tangan kirinya.

"Pagi dok." Ucap tiga perawat itu serentak.

"Pagi. Nih, biar tambah semangat." Dokter Adrian meletakkan minuman-minuman itu di meja.

Together Till Jannah? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang