10. Pergi

1.6K 130 2
                                    

🍃


"Raina, aku talak kamu." Suara Fatih dingin. Bagai diucap tanpa perasaan. Tanpa amarah. Tanpa emosi. Berbanding terbalik dengan makna talak itu sendiri.

Raina turun dari brankar tanpa memedulikan alas kaki. Menyongsong Fatih yang terduduk di kursi dekat dinding. Ia menjatuhkan dirinya di depan Fatih bertumpu dengan lutut. Tak peduli lututnya terasa sangat nyeri saat itu.

"Mas Fatih katakan kalimat barusan nggak benar Mas. Aku mohon." Raina terisak. Air matanya tak terbendung lagi.

"Aku sudah menalakmu Raina. Aku lelah dengan semua prasangka tentang kamu dan dokter itu. Kini, ketika semua terbukti di depan mata kepalaku sendiri, aku benar-benar yakin dengan keputusan cerai." Fatih memalingkan kepalanya ke kiri, menghindari tatapan Raina.

"Mas, semua yang terlihat bukanlah seperti apa yang Mas pikirkan. Dokter Adrian hanya menolongku mencabut jarum infus Mas. Aku...aku sempat nggak sadarkan diri tadi. Semua menolongku. Termasuk Riri dan perawat yang lain. Itu yang sebenarnya terjadi. Mas harus percaya sama Aku. Hm? Kalau mau aku telpon mereka satu per satu biar mereka yang menjelaskan ke Mas. Ya?"

Raina menggenggam kedua tangan Fatih dan dibawanya ke dada. Matanya meminta, memohon, memelas. Air mata mengalir tiada henti, seakan-akan hal itu mampu membantu melunakkan hati Fatih.

"Sudah lah Rania. Sepertinya ini yang terbaik untuk kita." Fatih bicara lemah, seperti tak bertenaga.

"Belum Mas. Ini belum berakhir. Kita masih bisa bicara baik-baik. Demi Allah. Aku nggak mau kita berakhir seperti ini. Bagaimana anak-anak? Mama, papa, ibuk dan Ayah? Apa yang akan kita katakan kepada mereka?"

"Aku tahu. Semua ada konsekuensinya. Aku akan pikirkan itu nanti. Aku mau pulang jemput anak-anak. Kamu introspeksi diri kamu Raina."

Fatih bangkit, pergi meninggalkan Raina yang terduduk lemas di lantai rumah sakit. Tak peduli lagi dengan kehigienisan, tak peduli dengan SOP kebersihan rumah sakit. Ia membekap mulutnya kuat-kuat. Takut suara tangisnya akan menggema di lorong bangsal.

***

"Lho, itu Mas Fatih kok pulang sendiri? Kenapa nggak ada Mbak Raina?" Riri berbicara pelan kepada dirinya sendiri. Dia sedang menunggu ojek online yang baru dia pesan lima menit yang lalu.

"Aduuh Gustiii. Opo iki? Kok aku khawatir yo? Mas Fatih mukanya nggak ngenakin, gitu lho. Mesti terjadi sesuatu ini." Riri mondar mandir di halte pinggir jalan. Tapi semakin dia berjalan, tanpa sadar langkahnya semakin menjauhi halte dan menuju rumah sakit kembali.

Semakin lama langkah kaki Riri semakin cepat. Hampir setengah berlari. Kini ia sudah sampai di depan lift. Ponselnya tiba-tiba bergetar. Ia menjawab tanpa melihat siapa ID penelpon.

"Halo?"

"..."

"Oalaah, maaf ya Mas. Saya cancel nggak apa-apa ya? Tiba-tiba saya ada keperluan mendadak nggak jadi pulang."

"..."

"Iya. sekali lagi maaf ya mas." Klik. Telpon dimatikan sekenanya.

Dalam lima menit ia sampai di bangsal anak. Celingak celinguk melihat apakah ada tanda-tanda Raina dimana saja.

"Bang Ade, Mbak Raina udah pulang blom?" Tanyanya pada perawat shift sore yang baru dia temui 15 menit yang lalu.

Together Till Jannah? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang