#25. Aroma Dia

454 24 0
                                    

___ Aku yang tertawa bersamamu bukan sedang baik saja – saja, kamu tahu? Aku hanya berusaha membuatmu mengerti, caraku berjuang ketika tak ada lagi harapan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

___ Aku yang tertawa bersamamu bukan sedang baik saja – saja, kamu tahu? Aku hanya berusaha membuatmu mengerti, caraku berjuang ketika tak ada lagi harapan.___

" Ar_ Rahman." Adelia masih menatap wajah Dimas di sebelah, sedang melantunkan ayat suci melalui aplikasi Al-Qur'an di handphone. Malam ini Dimas memang pulang larut malam, sesuai yang di pesankannya pada Ratih.

" Kok belum tidur?" Dimas masih fokus pada layar handphone.

Adelia justru mengusik jerawat yang bertengger di bawah bibir Dimas. Lelaki ini berkulit putih bersih, wajahnya mulus tanpa bekas jerawat padahal tidak pernah menyentuh sejenis perawatan di klinik.Aroma tubuh yang harum dan selalu membuat hidung Adelia tidak pernah bosan menciumnya jika berdekatan dengan Dimas, terbukti malamnya selalu dilalui begitu cepat tanpa tersiksa.

" Kenapa?" Dimas bertanya, meletakkan benda pipih ke meja kamar.

" Menunggumu, kalau kamu di sisiku, aku akan tertidur." Jawabnya, tidak mengalihkan tatapan.

Dimas terkekeh mendengar ucapan Adelia," biar ada teman berantem?"

Adelia mengerucutkan bibir, tidak suka akan jawaban Dimas." Enggak juga, ih Mas ini."

" Apa barusan, Mas? Sudah tidak nama lagi ya?" Ia mencandai sang istri, belakangan ini Adelia cukup membuka diri padanya.
" Eh, keceplosan." Adelia memijit jerawat Dimas, ekspresinya tampak kesal.

" Sakit sayang, sakit banget." Ringisnya, Dimas memiringkan tubuh hingga menatap Adelia dengan sempurna. Ia selalu berbicara lembut bahkan tidak pernah bicara kasar sedikit pun.

" Merindukan siapa?"

Dimas bingung,"maksudnya merindukan?"

" Ya Mas itu sedang merindukan siapa, sampai ada jerawat di sini." Jari telunjuk Adelia mengarah ke dagu Dimas.

" Bukan merindukan orang, justru sedang banyak pikiran." Kata Dimas, tidak membenarkan ucapan Adelia.

Adelia menarik selimut yang ia kenakan, senyum – senyum sendiri." Salah satunya perceraian kita kah?"

" Iya." Dimas mengangguk," saya masih nggak mengerti saja dengan semua yang telah berlaku." Tatapannya lurus ke atas langit – langit kamar.

" Nggak mengertinya di mana?" Adelia menaikkan kepala, sejajar dengan Dimas.

" Kenapa kita harus berpisah?"

Adelia manggut – manggut, tidak memberi cemoohan." Kalau aku ngomong kenapa kita harus bersama? Mas keberatan?"

" Pasti berat, kamu itu perempuan yang saya cintai Adelia." Ia melirik kearah istrinya," beda ceritanya kalau saya tidak menaruh rasa apa pun padamu."

" Makasih ya untuk perasaaanmu, tapi kamu bisa lihat sendiri kan. Hatiku nggak bisa di paksakan lagi, aku belum bisa menerimamu Dim."

" Iya, saya bisa melihatnya kok. Boleh saya tanya sesuatu padamu?"

" Boleh – boleh saja, memangnya kamu ingin mengajukan pertanyaan apa?"

" Masih mencintai Arden?"

Adelia berpikir sejenak, mecoba mencari jawaban yang tepat." Belajar untuk tidak mencintai lagi sih lebih tepatnya, belajar menerima keadaan. Arden bukan untukku, untuk apa memaksa Allah mengembalikan Arden yang menjadi milik orang lain. Finally, aku harus ikhlas dan memaafkan mereka." Lirihnya, kata – kata yang meluncur tersirat keraguan.

" Sebenarnya Arden itu sangat beruntung, lelaki yang dicintai setengah mati olehmu. Tapi sayang, dia buta dengan ketulusan perempuan sebaik kamu Adelia. Kamu nyaris sempurna sebagai perempuan." Ucap Dimas.

Adelia tersanjung, senyum tipis melengkung disudut bibir.

" Nggak salah ngomong begitu Dim?"

" Kamu baik Adelia, mengapa Allah patahkan hatimu dan memisahkan kalian? Kalau semisalnya kamu menjadi pasangan bagi Arden. Bisa jadi, sesuatu hal buruk menimpamu."

" Bahkan Mas nggak pernah melihat sisi kebaikanku, bisa – bisanya ngomong begitu." Adelia mencibir.

Dimas memeluk Adelia, harum shampo juga parfum yang di kenakan istrinya selalu menggelitik syaraf – syaraf kepala, hampir gila rasanya Dimas membawa diri. Ada satu hal yang membuat Dimas bingung sendiri, baik saat di kota maupun di desa. Ketika Adelia begitu membenci, atau bahkan seharian diberi makian. Setiap malamnya Adelia tidak pernah menolak jika Dimas memeluk tubuhnya, mencium keningnya hingga terlelap.

" Dengan kamu menyetujui keinginan Bu Yasmin untuk menikah dengan saya, beberapa persen saya bisa menyimpulkan kamu memikirkan perasaan orang tua."

" Lah, gimana aku nggak setuju. Ummi mengancam tidak akan memberi saham perusahaan, sebenarnya juga nggak ngasih sih. Justru kamu orang yang tetap dipercaya Ummi." Adelia sedikit mengesali jalan hidupnya yang rumit." Tapi setelah dipikir lebih dalam, aku hanya punya Ummi, satu – satunya di dunia ini. Melihat dia bahagia saat dinikahimu lalu, itu menjadi anugerah tersendiri sebagai seorang anak."

Dimas mengangguk," Bu Yasmin orang baik dan beruntung kamu lahir dari rahimnya."

" Ya iya lah baik di matamu, gara – gara Ummi kan kamu jadi nikah sama aku!" Alih – alih Adelia mendadak sinis.

" Salah,"Dimas menggeleng, mengecup kening Adelia." Kamu saja yang tidak tahu bagaimana Ummi memikirkan keadaan kamu, sekali pun sudah saya saya nikahi. Amarah bukan jalan keluar dan solusi yang terbaik, saya pernah ngomong begini kan?"

Adelia terkekeh," good man. Salah satu sahabatku ada yang naksir kamu, mau aku kenalin?"

" Enggak, saya masih belum berani membuka hati lagi setelah ditolak kamu." Dimas memejamkan mata.

Adelia memajuan bibir Dimas sambil bercanda." Mau tidur?"

Dimas mengangguk.

" Masih belum larut suamiku." Adelia menggombal," sebentar lagi ya, temani istrimu. Nggak kasihan ditinggal sendiri?"
" Orang tua dan adik – adik saya sudah pada tidur lho, hanya dari kamar ini saja yang masih bersuara. Sudah larut, yuk tidur." Ajak Dimas, menguap lebih dari sekali.

Angin bertiup kencang, sepertinya sebentar lagi hujan akan turun. Pepohonan pun mulai berlarian, mengikuti arah angin yang membawa ke kiri atau kanan. Seperti nasib Dimas malam ini.

" Sepertinya akan hujan kan Dim?" Adelia menatap ke jendela, gorden berwarna biru pun tampak di terpa angin." Jadi menyeramkan." Ia menoleh ke sebelah, dan lelaki itu tengah terlelap.

" Dim, jangan tidur." Ia menggoyang – goyang lengan Dimas agar tidak terpejam." Ayo cerita yang lebih banyak lagi."

Dimas menarik pelan kepala Adelia ke dalam dada bidangnya." Tidur ya, sudah larut malam. Nggak bagus untuk saya dan kamu, apalagi kita ini suami – istri."

Adelia jadi salah tingkah mendengar jawaban Dimas, walau tidak ikut terpejam ia hanya menurut. Jemarinya bermain di di dada bidang sang suami." Selamat malam Dimas."

" kembali untukmu." Sahut Dimas lembut, membalas ucapan Adelia dengan mata terpejam.

__ Hubungan ini rumit, aku tidak tahu mengartikannya seperti apa. Kamu tidak menolak dan juga tidak menerima. Seolah semua ini akan baik – baik saja, kamu tidak menyadari aku sedang berjuang mengumpulkan pertahanan ketika nanti ' kita ' benar - benar berpisah. Sebentar lagi,akan aku temui masa itu ____ Dimas Zidan

IM SORRY HUSBAND

Baleria dan Karin menatap kursi kosong, biasanya selalu ada Adelia bersama mereka. Untuk kali ini mereka pun tidak tahu keberadaan sosok sahabatnya itu yang pergi tanpa kabar.

" Berasa kehilangan pacar Adelia nggak ada di sini." Karin meletakkan kepala di atas meja," kabur kemana sih itu anak?"

⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️

FULL CERITA TERSEDIA DI APLIKASI DREAME.

IM SORRY HUSBANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang