019-Louis

31 16 4
                                    

Segurat wajah penuh senyum tengah memandangi secarik foto yang baru saja ia cetak dari printer. Berukuran kecil dan fleksibel jika dimasukkan ke dalam saku celana. Pemuda yang hanya menampakkan bibirnya saja. Menutupi kepala dengan tudung jaket hitam yang menjadi khasnya.

Lelaki yang berada di foto itu, mengenakan jas dan seorang gadis dengan gaun cantik di sampingnya. Rumah penuh dengan foto-foto hasil jepretan kamera.

Siapakah dia?

Masih menjadi tanda tanya para detektif kepolisian. Bahkan agen BIN pun masih mencari tahu sosok itu.

Berjaket hitam dan terlihat misterius. Ia bangkit dari tempat kerja seseorang yang sangat mengenalnya. Foto-foto berbingkai terpajang di dinding kamar itu.

Dia berjalan dengan langkah pelan menuju salah satu foto. Mengusap lembut foto pemuda berparas tampan dengan lesung pipi. Mengenakan jas almamater kampus saat ia kuliah dulu. "Jinyoung-ah! Kau masih sama sampai sekarang," gumam pemuda itu.

Louis, seperti apa rupanya? Ia masih bercengkerama di kamar Jinyoung. Melihat-lihat kamar Jinyoung yang terlihat rapi. Bagi Jinyoung, kamar itu sudah terlihat rapi. Tapi bagi Louis, tata letak kamar itu sangat mengusiknya. Terlihat sangat tidak rapi.

Ia mulai menggerak-gerakkan jemari agar tak cedera. Louis akan memulai membereskan kamar Jinyoung lagi. Agar saat Jinyoung menemukan kamarnya, ia akan merasa nyaman.

Jemarinya bergerak lincah merapikan selimut kasur. Membetulkan posisi bingkai foto pada sebuah meja di samping ranjang. Menata buku-buku yang tertata di atas meja pula. Kemudian ia mengambil alat penyedot debu.

"Pekerjaan ini sama menyenangkannya dengan merapikan darah-darah yang tercecer di lantai," kata Louis lirih.

***

Mimpi buruk itu membuat Jinyoung terbangun dari tidur. Ia menepuk-nepuk kening untuk mengembalikan kesadaran. Semalam, ia pulang dari kantor setelah minum bersama rekan-rekannya. Tanpa sadar, ia sudah terbaring di atas ranjang tempat tidur.

Pelan-pelan ia menggerakan jarinya yang terasa pegal. Melirik ke sekeliling kamar dan mendapati buku-buku yang tampak berbeda. Berurutan sesuai tebal kertas. Jinyoung tak tahu siapa yang merapikan itu. Juga bingkai yang ia sengaja buat menghadap miring, terlihat menghadap lurus.

Secarik kertas dengan coretan tulisan mengalihkan perhatian Jinyoung. Ia meraihnya dari meja samping tempat tidur.

"Jinyoung-ssi. Sepertinya kau terlihat lelah. Aku membereskan kamarmu semalam," - Louis.

Rupanya Louis lagi. Kenapa dia tak mau pergi dari hidupnya? Terus mengusik Jinyoung dan membuat hidupnya tak tenang. Bagaimana cara menyingkirkannya? Ia sudah mengenal Louis saat ia masih di panti asuhan.

"Lebih baik aku segera ke kantor sebelum Shim Hwijae memakiku lagi," kata Jinyoung lirih.

Daripada harus memikirkan lelaki menyebalkan yang benar-benar merenggut dirinya. Dia orang gila yang terus mengawasi Jinyoung di mana pun ia. Orang gila yang sudah membunuh puluhan nyawa.

***

15 tahun lalu

Seorang anak lelaki tanpa bayangan yang muncul tiba-tiba di hadapan Jinyoung. Posisinya saat itu tengah berjongkok sambil memegang sebatang kayu kecil dan menggoreskan gambar tak beraturan di tanah berpasir.

Sepasang kaki muncul di hadapan Jinyoung. Begitu ia mendongak, ada seorang anak kecil yang tinggi tubuhnya serupa dengan ia. Di depan halaman panti asuhan yang menjadi tempat tinggal Jinyoung dan anak lelaki itu.

"Jinyoung-ah. Mau bermain bersamaku?" ajak anak lelaki itu.

"He-ehm," balas Jinyoung seraya mengangguk.

Ia berjalan mengikuti anak lelaki yang belum ia kenal namanya. Jinyoung terus mengikuti anak itu dari belakang. Jinyoung melirik ke bawah kakinya sendiri. Bayangan pada tanah akibat terhalang cahaya oleh tubuhnya sendiri.

Tapi saat Jinyoung kecil melihat ke bagian tubuh anak lelaki itu. Dia tak memiliki bayangan sama sekali. Anak lelaki itu masih tampak polos sampai ia tak berpikir bahwa itu adalah hal yang aneh.

"Siapa namamu?" tanya Jinyoung.

Anak lelaki itu berhenti, tapi ia tak membalikkan tubuh. "Aku Louis. Kau Jinyoung. Aku sangat mengenalmu, kau tidak tahu itu, kan?"

Mereka berdiri di belakang sebuah gudang panti asuhan. Suara tawa anak-anak yang mengudara tak begitu jauh dari sana. Masih terdengar dari telinga Jinyoung.

Nama dia adalah Louis. Dan sejak saat itu, Jinyoung mengenal dia sebagai Louis. Jinyoung berpikir bahwa anak itu adalah teman sejatinya. Karena di panti asuhan ini, tak ada yang mau berteman dengan Jinyoung. Lalu tiba-tiba, ada seorang anak yang mau bermain dengan Jinyoung kecil.

Louis kecil mengambil sebilah bambu kecil yang tampak tajam. Jinyoung hanya memerhatikan teman barunya itu melakukan satu hal yang belum Jinyoung tahu. Apa yang hendak dilakukan Louis? Dia tak memberitahu Jinyoung sama sekali.

"Lihatlah!" ujar Louis sambil menggendong seekor anak kucing di tangan kirinya.

Dia berjongkok kemudian, diikuti Jinyoung yang penasaran. Perlahan, sebilah bambu itu Louis goreskan pada leher si anak kucing. Jinyoung membelalak terkejut melihat perbuatan Louis.

"Louis...!" rintih Jinyoung ketakutan. "A-a apa yang kau lakukan? Kenapa keluar darah dari anak kucing itu?" tanya Jinyoung dengan suara yang terdengar lemah.

"Anak kucing ini yang pernah mencakarmu, kan? Jadi dia juga harus terluka. Dia harus menerima balasan," ucap Louis.

Tak butuh waktu lama. Louis membuat anak kucing itu mati. Darah mengucur tak berhenti dan membuat anak kucing itu kehabisan darah. Tangan Jinyoung mulai bergetar ketakutan. Lehernya bergidik karena kengerian itu. Louis dengan tega membunuh anak kucing itu.

"Sekarang dia mati. Apa yang akan kita lakukan?" tanya Louis ketakutan.

"Aku akan pergi. Kau harus membersihkan darah anak kucing ini," ucap Louis lalu berjalan pergi dari Jinyoung setelah menyerahkan anak kucing itu pada Jinyoung.

Tangan Jinyoung kecil bergetar ketakutan setelah melihat aksi Louis. Ditambah darah yang kini memenuhi tangan Jinyoung. "Aku hanya perlu membersihkan darahnya, kan?" kata Jinyoung lirih.

Ia menggendong anak kucing itu melewati anak-anak panti asuhan yang lain. Tentu saja membuat mereka tersentak saat melihat Jinyoung membawa anak kucing yang berjujuran darah.

"Ahjumma!" teriak seorang anak perempuan yang terkejut melihat Jinyoung menggendong anak kucing yang sudah mati.

Bibi pengurus panti asuhan itu lantas datang dan ia juga tersentak melihat Jinyoung membawa anak kucing itu. Dia bergegas menghampiri Jinyoung. "Apa yang sudah kau lakukan pada anak kucing ini, Jinyoung?" tanya seorang wanita pengurus panti asuhan bernama Seo Ha Young.

"Kenapa kau membunuh anak kucing ini, hah?" tanya ia sekali lagi terdengar marah.

"Bukan aku, Ahjumma. Tapi Louis," ucap Jinyoung.

Seo Ha Young tak habis pikir. Anak itu mengelak melakukannya dan malah menuduh seorang anak. Jelas-jelas Jinyoung yang membawa anak kucing itu. Juga sebilah bambu kecil tajam dengan bercak darah.

***

Sebuah mobil berhenti di depan panti asuhan. Seo Ha Young tak bisa membiarkan anak itu tinggal di panti asuhan lagi. Hanya akan membuat anak-anak lain ketakutan. Seorang keluarga dari Brisbane, Australia. Mereka berniat mengasuh Jinyoung.

"Jinyoung-ah. Kau adalah anak yang manis. Bibi harap, kau bisa bahagia di sana dengan keluarga barumu," ucap Seo Ha Young lembut sembari tersenyum.

"Terima kasih karena Bibi sudah merawatku sejak kecil. Aku hanya memiliki kenangan denganmu," kata Jinyoung manis.

Kedua orang tua angkatnya membawa Jinyoung dari panti asuhan itu. Dan sejak saat itulah. Ia bertolak ke Australia, meskipun akhirnya ia kembali lagi ke Korea setelah kematian orang tua angkatnya akibat kecelakaan mobil.

A Boy Without Identity | Kim Nam Joon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang