018-Kontes (2)

34 14 4
                                    

Ini adalah hari di mana seluruh peserta kontes fotografi menunggu pengumuman para pemenang kontes. Seisi ruangan yang berisi para staf, wartawan dan beberapa news anchor dengan perasaan yang bercampur menunggu pengumuman itu. Termasuk seorang anak sekolah menengah ikut duduk di sana, dia adalah Jongseong.

"Jinyoung hyung pasti yang jadi pemenangnya," ucap Jongseong.

"Sudah pasti dia menjadi juara pertama. Karena skandal yang menimpa Walikota Yoon membuat para peserta mengundurkan diri. Itu artinya, pesaingnya berkurang," kata Yoora.

"Dan harga saham Daemyung Company juga anjlok," batin Yoora disertai senyum miring.

"Aku menang bukan karena pesaingku berkurang. Tapi karena model yang ada di dalam fotoku itu cantik dan tampan," puji Jinyoung.

Pujian terlempar dari mulut Jinyoung membuat Yoora menyibak rambutnya. Merasa bangga karena, memang begitulah kenyatannya. Dia memang cantik. Mewarisi paras tampan sang ayah.

"Itu karena aku mirip mendiang ayahku," ucap Yoora.

"Kalau begitu kau tampan, bukan cantik, sunbae," tepis Seungkwan.

"Huft!" dengus Yoora setelah mendengar perkataan Seungkwan. Memang benar jika ia mirip ayahnya, yang artinya ia tampan alih-alih cantik. Tapi Yoora lebih senang dikatakan mirip dengan sang ayah daripada ibunya. Buat apa ia mirip dengan sang ibu yang jelas-jelas sudah mengabaikannya.

Tutt

Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Yoora. Rupanya Namjoon yang mengirim pesan. Ia segera membuka ponselnya dan di sana terdapat sebuah pesan.

|Yoora-ssi. Sudah kubilang, kan? Bukan aku pelaku pembunuhan itu. Apa kau masih marah padaku?

Yoora menjauh dari rekan-rekannya. Ia berniat menelpon Namjoon. Sebenarnya, ia tak marah pada Namjoon. Hanya kesal saja karena Namjoon tak pernah mau terus terang padanya. Bahkan ia juga seperti tak peduli keberadaannya ketika mereka bertemu di kantor polisi.

|Tidak. Aku tidak marah padamu. Sekarang kau di mana?

|Aku ada di depan kantormu.

Matanya terbelalak ketika mengetahui Namjoon berada di depan kantornya. Yoora bergegas keluar dari pintu utama dan benar, ia tengah berdiri menatap gedung kantor sambil membawa payung. Saat ini memang sedang hujan deras. Kenapa pemuda itu sangat bodoh? Mendatanginya di saat hujan seperti ini. Apalagi gelegar petir seolah menyambar sesuatu.

Duarr

Langkah Yoora tiba-tiba terhenti ketika suara petir yang nyaris memekik telinganya. Tangannya bergetar dan kakinya tak dapat bergerak, ia hanya mematung. Jantungnya berdegup lebih kencang daripada sebelumnya. Napasnya mulai tak beraturan. Dan dada yang terasa sesak. Jemarinya terasa lemas dan tubuhnya sudah tak bertenaga lagi.

Kembali pada trauma yang belum berakhir. Rupanya gadis di hadapannya itu masih sama ketika ia pertama kali bertemu dengannya. Mengalungkan kedua tangannya pada daun telinga. Menitihkan air mata dan tampak cemas, Namjoon berusaha menghampiri Yoora. Pemuda itu tak sengaja menjatuhkan pegangan payungnya, berlari menaiki tangga kantor dan dengan cepat ia menangkap Yoora.

Memeluk erat tubuh mungil itu sebelum ia terjatuh dan juga berharap ia kembali tenang. Tiba-tiba saja gerimis berubah menjadi hujan yang deras, dan petir yang lagi-lagi membuat jantung berdegup tanpa kendali. Yoora berada pada pelukan Namjoon, tatapan matanya kosong. Ia perlahan mulai tenang, napasnya kembali teratasi. Namjoon berhasil menenangkan hatinya.

A Boy Without Identity | Kim Nam Joon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang