Mata itu masih terlelap meskipun matahari sudah mulai beraktivitas. Yoora belum bisa sadar. Dalam mimpi itu, dalam mimpi yang belum juga berakhir. Kenapa terasa sulit sekali? Mata itu tak mau membuka.
Duarr
Petir, angin dan hujan beradu menjadi satu dalam suatu peperangan. Begitu terdengar menggetarkan hatinya. Ayah, ayah ada di dalam mimpi ini. Mimpi yang belum mau berakhir.
"Yoora-ah!"
Suara ayah. Suara ayah ketika memanggilnya dari tepi Pantai Haeundae dalam keadaan badai yang menyelimuti lautan. "Appa! Appa andwae!"
Sangeil chukka-hamnida
Saengil chukka-hamnida
Saranghaneun uri ttal
Saengil chukka-hamnida
Kaki lelaki itu melangkah mendekat ke arah gadis kecil dengan gaya rambut bob. Yoora kecil, wajah itu dipenuhi rasa takut. Kenangan yang masih terus menghantui. Wajah ayah yang seolah tersenyum, tapi ia tersenyum di bawah gelagar petir yang membuat telinga itu berdenging.
Wajah ayah yang membawa kue ulang tahun di tangannya. Dan ibu yang membawa sebuah lukisan Pantai Haeundae. Itu adalah lukisan yang ayah berikan pada Yoora ketika ulang tahunnya yang ke sembilan tahun.
Duarr
"Kumohon! Kumohon!"
Gadis itu tersungkur sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Memohon pada hujan agar ia segera reda, memohon pada angin agar ia tak menyambarkan api, memohon pada petir, agar ia tak jatuh ke bumi. "Kumohon jangan ambil Appaku!"
Mimpi ini. Kenapa ia tak mau berhenti? Yoora masih berusaha membangunkan kesadarannya.
Drrrrtttt
Suara ponsel yang bergetar. Kedua kelopak mata yang sulit sekali terbuka. Suara ponsel itu sudah menyadarkan dia bahwa ini adalah mimpi.
Ding dong
Mata itu membelalak tiba-tiba. Suara bel yang membuatnya terbangun. Deru napas yang tak terkendali. Tubuh itu masih terbaring di atas ranjang. Siapakah gerangan yang menekan bel?
Keringat yang mengucur membasahi dahi dan rambut-rambut kecil di tepian wajahnya. Yoora menoleh ke laci samping tempat tidur. Ponselnya, baru saja berdering, gadis itu meraih ponsel miliknya. Hari ini adalah hari ulang tahunnya. Setiap tahun, setiap kali di tanggal yang sama ketika ia berulang tahun. Mimpi itu selalu muncul.
"Lukisan Pantai Haeundae?" gumam Yoora.
Ding dong
Suara bel lagi. Siapa yang datang kali ini? Kedua kakinya turun dari tempat tidur. Ia keluar dari kamar dan menuju ke pintu utama. Memastikan siapa yang datang hari ini.
"Annyeong!" sapa Namjoon sambil tersenyum.
Satu tangannya lagi bersembunyi di balik punggung.
"Namjoon?!"
Dia terlihat sangat rapi. Mengenakan jas hitam, sepatu pantofel dan kaca mata hitam tersemat di kerah kemeja putihnya. Tak lupa membawa coat yang ia sampirkan di tangan.
"Hari ini kau akan berangkat bekerja, bukan?" tanya Namjoon.
"Tentu saja," balas Yoora sambil memutar tubuh lalu masuk ke dalam rumah.
Tangan Namjoon mencekalnya, menarik tangan gadis itu dan membuatnya jatuh ke dalam pelukannya. "Aku merindukanmu," bisik Namjoon. Dia lantas melepaskan lagi Yoora, ternyum menatap sang pujaan hati. Yoora membalas lelaki itu dengan senyum pula. Matanya berbinar, setelah beberapa saat kemudian Namjoon menyerahkan bucket bunga yang dari tadi ia Sembunyikan.

KAMU SEDANG MEMBACA
A Boy Without Identity | Kim Nam Joon ✓
Misterio / SuspensoJangan pernah menyerah untuk membaca cerita ini Plagiarisme akan kutuntut di Pengadilan Tuhan Catatan : Cerita ini tidak sekadar fantasi. Dibumbui teka-teki tentang mencari keberadaan seorang pembunuh, serta kritik sosial. Catatan kedua : Beberapa p...