Ini beberapa fakta tentang Kaluka Sandyakala; Ia tidak pernah jadi murid paling populer di sekolah. Bukan yang paling tampan, paling baik, atau paling pintar. Luka sebenarnya biasa saja. Yang membuatnya luar biasa hanya karena ia selalu tahu jelas apa yang ia mau.Dari dulu, terutama saat ia tinggal di Indonesia, saat ia tak habis-habis mendengar teman-temannya bicara tentang semua jurusan kuliah yang ingin mereka ambil nantinya, ia tumbuh bosan menanggapi. Kedokteran, bisnis, psikologi, dan semua yang kemudian ia hafal luar kepala, semuanya baik, tapi Luka selalu tahu yang ia mau tidak ada di antara semua itu.
Namun meskipun Luka tahu rasa malu seharusnya tidak ada dalam kalimat yang sama dengan mimpi, performance art, moreover theatre, is sadly, still a thing worth questioning in Indonesia. It's not promising, they would say. And to dare dreaming about choosing performance art as a career path, is to dare spending your time convincing your surroundings that you will somehow find a way to survive the world awaits after you graduate.
Luka tidak pernah malu dengan mimpinya. Ia tidak pernah mempertanyakan kemampuannya untuk bertahan dengan pilihannya. Sampai pada kali pertama ia memberitahu ayahnya tentang keinginannya itu, untuk masuk teater, saat kelas 2 SMP dulu.
Ini beberapa fakta tentang Kaluka Sandyakala; alasannya kembali ke Amerika, lebih besar dari mamanya. Kalau boleh jujur, hubungannya dengan sang mama, bisa dibilang tidak sedekat itu. Luka menghabiskan hampir seluruh masa kecilnya di Indonesia, berdua dengan ayahnya. Selain tanpa jadwal kadang bertukar kabar, ia tidak bisa dikatakan sering bicara dengan mamanya. Namun saat ayahnya menentang keras keinginannya untuk masuk teater, Luka menjawabnya tenang dengan satu kalimat.
"Kalau gitu kirim Luka ke mama. Kirim Luka balik ke Amerika dan aku bakal buktiin sama papa, saat nanti papa denger tentang mimpiku lagi, papa nggak akan pernah lagi merasa perlu untuk mempertanyakan aku dan berusaha bikin aku ninggalin mimpiku."
Dan itu yang ayahnya lakukan.
Luka kembali ke Amerika saat ia masuk SMA, dan menata hidupnya kembali dari sana. Hingga sekarang, berkutat pusing dengan kehidupan kuliah yang memang keinginannya.
"So, how's the search going?" Aaron bertanya pada Luka yang baru kembali ke kamar dan menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Luka menyaksikan Aaron melempar bola basket ke dalam kepala ring yang ditempel ke dinding sebelah kasurnya, mengatur napasnya sebelum menjawab.
"Terrible. It was supposed to be easy, you know, finding clubs to collaborate with. But most of the clubs are already have their own thing going on. The worst one is Vibes, Written and Spoken. They just have to have a shortage of member and taking a break when I needed them the most."
Aaron menghentikan kegiatan kecilnya dan duduk bersandar di ujung kasurnya, mendengarkan Luka dengan seksama. Beberapa hari mengenal Luka cukup bagi Aaron untuk tahu Luka adalah orang yang sangat tepat untuk dijadikan teman. This man is really easy going. Dan dia tidak banyak bersuara jika tidak diperlukan. Kriteria yang sempurna untuk teman sekamar.
Luka yang sedang penat dengan pikirannya sendiri tidak mengindahkan keberadaan Aaron. Yang ada dalam otaknya hanya bagaimana ia menemukan klub lain untuk diajak kolaborasi dalam acara klubnya, atau bagaimana ia bisa mendapatkan tamu undangan yang sempurna untuk tampil dalam acara tersebut. Students Performing Arts Club, biasa disingkat SPAC, adalah tempat Luka banyak mendedikasikan waktunya di luar kegiatan belajar dan kelas-kelasnya. Selain pertunjukkan-pertunjukkan kecil yang diadakan hampir setiap bulan, biasanya dalam 1 semester, klub tersebut membuat satu acara yang menghadirkan penampil dari luar atau bekerja sama dengan klub lainnya. Ini kali pertama dalam 7 bulan, ia diberi tanggung jawab oleh ketua klubnya untuk mengurus hal itu. Dan beberapa minggu berusaha, hasilnya masih nihil. Ketika ia bertanya pada Sam dan Aimee — teman satu divisinya— yang juga mendapat tanggung jawab yang sama, jawabannya juga sama. Belum berhasil menemukan siapapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Know the Ending (Completed)
Teen FictionSeseorang pernah berkata pada Luka, bahwa yang terpenting tentang mencintai adalah pengorbanannya. Tapi Luka kemudian jatuh cinta pada Tera, si ambisius yang tidak mau mengorbankan apapun dalam hidupnya untuk cinta. "Jatuh cinta itu mudah. Asal pad...