"Your first assignment is due next week. This one is an important one, so make sure to do great. The essay must be critical, and understandable. Your own opinion is needed. The names that you will do is attached on your portal and email I sent you. Don't make me fail you, guys. That's all for this evening, see you next week."Tera merapihkan buku di depannya ketika professor-nya berjalan meninggalkan ruangan. Gadis itu menghela napas lelah setelah jadwal kelas padatnya hari ini akhirnya berakhir. Hari Selasa memang hari di mana kelasnya dimulai pagi sekali dan baru selesai saat waktu menunjukkan pukul 6 sore. Melambai pada beberapa temannya yang tersisa, Tera melangkah keluar menuju tempat sahabatnya, Gea, sudah menunggunya dari tadi untuk mengajaknya makan malam.
"Kuliah apa kerja rodi lu? Lusuh bener," komentar Gea melihat Tera berjalan keluar dari gedung kampus dan melangkah ke arahnya. Tera hanya tersenyum setengah hati dan meneguk habis air dari botol minumnya. Setiap hari Selasa, lelahnya berlipat ganda. Mau menyerah tapi mimpinya terlalu banyak untuk dikejar sambil terus-terusan mengeluh.
Gea melirik Tera yang berkali-kali memijat batang hidungnya. Ia sudah cukup tahu Tera untuk sadar alasan lain Tera terlalu banyak pikiran minggu ini adalah karena pertemuan terakhir mereka di Don's Rok hari Jumat lalu. Tera memang tidak kelihatan seperti orang yang peduli dengan apa yang orang lain katakan, namun ini bukan kali pertama mimpinya dipandang sebelah mata dan malah dilihat sebagai kelemahan dirinya, dan itu adalah hal yang paling tidak bisa diterima Tera.
"Udah minta maaf, Kak Bim?" Tanya Gea, berjalan di sebelah Tera.
"Udah. Tapi nanti juga dia mulai lagi. Males nanggepinnya."
Tera benar, Gea tahu. Sejak perasaannya ditolak mentah-mentah oleh Tera, pria itu seperti memusuhi mimpi gadis itu, seakan tidak terima ia dikalahkan oleh ambisi Tera. Kelihatannya sih mereka seperti baik-baik saja, namun semua juga tahu ada ketegangan yang tidak akan pernah bisa hilang lagi di antara keduanya.
"Tapi emang Luka beneran mau deketin lo ya?"
Tera menggeleng. "Nggak tahu sih. Bercanda paling. Gila aja, orang baru kenal. Gue udah pernah bilang juga I don't do relationships."
Gea memanggutkan kepala meskipun ia tidak percaya. Mungkin ini pandangannya saja, tapi Luka tidak kelihatan seperti sedang bercanda saat berkata ia ingin mendekati Tera. Namun kalau bisa, ia juga ingin memperingati Luka agar tidak berusaha mencoba apapun dengan Tera kalau tidak mau sepenuhnya didepak dari kehidupan gadis kelahiran Jakarta satu itu.
Tera dan Gea masuk ke dalam salah satu restoran paling digemari anak-anak Hamilton karena lokasinya yang tidak jauh dari kampus. Setelah memesan satu loyang pizza, keduanya makan dalam diam. Gea memilih untuk tidak angkat bicara melihat muka Tera yang ditekuk dan berulang kali menghela napas. Tugas kuliah yang menumpuk dengan suasana hati yang buruk memang bukan perpaduan yang baik. Di saat-saat begini biasanya keinginan Tera untuk kembali ke Indonesia sedang ada di titik tertingginya. Rasa ingin mendekam di kamar kecilnya, menyantap masakan mamanya dan menghabiskan waktunya menulis dalam diam di balkon kamar kesayangannya.
Tera menggigit makan malamnya itu tanpa selera, diiringi gelengan kepala dan decakan Gea.
"Lo ada rencana pulang kampung nggak, Ra, Desember ini?" tanya Gea masih dengan makanan di mulutnya. Tera menggeleng tanpa berpikir.
"Setahun juga belum, Ge. Kalau tiketnya murah mah tiap enam bulan gue balik," sahut Tera.
"Jadi rencana balik kapan?"
"Tahun depan mungkin. Atau ya nggak balik sampe lulus. Kenapa emang? Lo mau balik?" Tera mengaduk minumannya sambil menatap Gea bertanya. Jarang-jarang gadis itu menanyakan hal seperti ini padahal tahu Tera tak suka membicarakan rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Know the Ending (Completed)
Roman pour AdolescentsSeseorang pernah berkata pada Luka, bahwa yang terpenting tentang mencintai adalah pengorbanannya. Tapi Luka kemudian jatuh cinta pada Tera, si ambisius yang tidak mau mengorbankan apapun dalam hidupnya untuk cinta. "Jatuh cinta itu mudah. Asal pad...