15. The Road Trip

484 87 1
                                    


Tera terasa terlalu mudah tergapai untuk seseorang yang sebenarnya sangat amat sulit digapai.

Hanya itu yang muncul di kepala Luka setiap kali melihat gelang tipis dengan dua bandul kecil berbentuk topeng yang melambangkan teater, hadiah natal pemberian Tera yang sudah menemukan tempatnya di bawah pergelangan tangan Luka.

"Can you stop? Your music taste is literally shit."

Luka kembali mendengar keluhan Patricia tentang musik dari ponsel Aaron yang pria itu sambungkan pada speaker mobil. Ia hanya menggeleng tak habis pikir.

Setelah sekian lama, akhirnya pandangan Luka berhasil ia alihkan dari gelang di tangannya menuju jalanan yang ada di depannya bersiap belok kanan memasukki tol yang akan mereka lalui selama kurang lebih 4 jam sebelum pintu keluar tol terakhir mereka di Wythe Ave/Kent Ave nanti. Luka mengencangkan injakan pada pedal gas mobil milik Aaron itu begitu melihat jalan tol kosong melompong, mencoba fokus tanpa terdistraksi oleh Tera yang asik mendengar lagu dari earphone-nya sambil mencoret-coret buku tulisnya dan candaan 4 orang yang menempati kursi penumpang belakang.

"Ka, kita nginep di rumah lo beneran nggak apa-apa ini? Apa kita pesen tempat lain aja?" Gea melontarkan pertanyaan yang sudah Luka dengar puluhan kali dari minggu lalu, dari kursi paling belakang. Luka menggeleng, entah dapat dilihat Gea atau tidak.

"Nggak apa-apa kok. Tapi terserah kalian sih kalau nggak nyaman di rumahku, kalau mau di tempat lain juga boleh. But, hotels are pretty packed because of the holiday season, dan kalaupun ada yang kosong, pasti selangit sih harganya," jelas Luka sebagai jawabannya.

Gea memandang langit di luar yang sudah mulai gelap. Seharusnya mereka berangkat tadi pagi, namun ternyata Tera diminta menemui salah satu dosennya yang ingin menawarkan posisi asisten dosen padanya semester depan. Padahal jelas-jelas ini sedang hari libur. Alhasil mereka berenam baru menempuh perjalanan pukul 5 sore dan menurut perkiraan akan tiba di Brooklyn sekitar jam 9 malam. Gea lalu memikirkan ribetnya mencari penginapan yang sesuai di tengah udara dingin Brooklyn malam-malam begini.

"Ya udah di rumah lo aja deh, Ka. Maaf ya ngerepotin."

"Santai aja kali," Luka membalasnya halus.

Kali ini Gea mencuri lirik pada Samuel yang dari tadi duduk diam di sebelahnya. Berbeda ketika ia melihatnya bersama Luka, Sam ternyata lebih pendiam dari yang ia pikirkan. Mungkin ia memang tidak banyak bicara dengan orang yang tidak dekat dengannya? Gea tidak mengerti juga. Namun cara pria itu terkekeh setiap Patricia dan Aaron beradu mulut, menarik perhatian Gea seutuhnya. Sepertinya sih ya memang hanya karena pria itu tampan. Namun setelah dipikir ulang dan melihat Samuel, sepertinya keputusannya untuk tidak kembali ke Indonesia akhir tahun ini memang keputusan paling tepat.

Hampir satu jam Luka menyetir, gerutuan dan percakapan di bangku belakang sudah tidak lagi terdengar, menandakan semua penumpang itu entah melamun atau sudah tenggelam di alam mimpi. Tidak dengan Tera yang tampaknya berniat menemani Luka melek hingga sampai di rumahnya nanti. Tapi tidak mengajak pria di kirinya bicara, Tera hanya terus-terusan diam memandangi ponselnya yang terang di tengah mobil gelap itu, membuat ponsel tera jadi satu-satunya sumber cahaya  di sana. Membaca dalam gelap, kebiasaan yang dari dulu coba orangtuanya larang, namun karena mata Tera tak pernah menunjukkan adanya masalah, gadis itu tak pernah ambil using mendengarkan teguran mamanya.

"I just realized... the only time you write about love is to write about pain and bad memories. So you're like the Taylor Swift in the spoken word poetry world," ujar Luka di tengah hening, mengundang gelak tawa pelan Tera. Untuk pertama kalinya sejak menutup pintu mobil tadi, Tera menoleh dan memusatkan pandangannya pada Luka yang tengah sibuk menyetir.

We Know the Ending (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang