Jika ditanya, apa yang sudah Tera korbankan untuk mengejar mimpinya dengan pergi ke benua lain, menimba ilmu di negara asing tanpa siapapun yang dikenalnya, berpuluh jam dari rumahnya di Jakarta sana, dan biaya hidup pas-pasan setiap bulannya, jawabannya hanya satu kata. Banyak. Termasuk harga dirinya yang ia tinggalkan di Indonesia saat bersimpu di bawah kaki kedua orang tuanya yang jelas-jelas menentang keputusannya saat itu.Spoken Word Poet itu harusnya jadi kerja sampingan, kata mamanya dulu. Harus punya pekerjaan tetap sebelum mau berkecimpung di dunia yang tanpa kepastian itu. Jadi aktor tanpa bakat seni peran, dan penyanyi tanpa bakat tarik suara bahkan masih lebih menjanjikan, kata papanya. Tapi bukan Tera kalau tidak nekad memainkan kartu anak semata wayangnya dan meyakinkan kedua orang tuanya untuk tetap membiarkannya pergi mengejar segala ketidakpastian dari cita-citanya.
Clinton adalah kota kecil, kurang lebih 4 jam perjalanan dari NYC. Tidak ada alasan spesifik sebenarnya kenapa Tera memilih Clinton sebagai tujuannya, selain dari kenyataan bahwa Hamilton College adalah salah satu kampus dengan jurusan Creative Writing terbaik, di Amerika, atau mungkin di seluruh dunia. Kenyamanan kota itu yang ternyata sangat dicintai Tera, adalah bonus baginya. When she first arrived here, she has no idea that she will love this place this much. 7 bulan sudah ia menempuh pendidikan di universitas yang mahasiswa Indonesianya saja masih dapat dihitung dengan jari, dan tidak satu kalipun ia menyesali keputusannya sempat perang dingin dengan orang tuanya dulu. Mimpinya memang tidak menjamin, tapi Tera tidak punya keinginan lain.
"Males ah, paling kayak biasa lagi. Kak Bimo, Kak Asri, Julian sama lo doang kan?" Tera memutar bola matanya malas pada Gea yang menatapnya penuh harap.
"Ya iyalah, sejauh ini orang Indo yang kita tahu ada di Clinton kan emang cuma mereka," balas Gea tidak kalah malas.
Tera menghela napasnya. Ia tidak punya masalah dengan pergi menemui anak-anak Indonesia yang juga ia tahu ada di kota ini. Namun hampir tiap minggu mereka berkumpul, dan karena anaknya juga itu-itu saja, lama-lama bosan sendiri. Belum lagi topik bahasannya juga seputar itu-itu saja. Daripada ngalor-ngidul tidak jelas sampai pagi dan kembung minum bir, seperti yang biasanya terjadi jika mereka berkumpul, lebih baik Tera menghabiskan malamnya dengan buku serial fiksi kesukaannya dan secangkir cokelat panas.
Gadis berponi yang dikenal Tera dari hari pertama masa orientasi dan yang sekarang menjadi sahabatnya itu mengerlingkan matanya pada Tera, masih mencoba membujuknya. Tera menggeleng.
"Lo aja deh, bilangin mereka gue besok kerja kelompok pagi." Tera melambaikan tangannya pada Gea yang masih duduk di ujung kasurnya. Sia-sia sudah usahanya berjalan jauh di cuaca sedingin ini dari gedung asramanya ke gedung asrama Tera yang jaraknya tidak dekat. Gea memicingkan matanya kesal, lalu menatap teman sekamar Tera yang asik membaca di kasurnya sendiri.
"Can you believe her?" Gea menunjuk Tera yang sibuk dengan ponselnya. Patricia tertawa kecil melihat raut wajah Gea.
"I've been her roommate for seven months. Believe me, if this is about her refusing to go out, it's not that hard to believe."
Patricia, atau yang biasa disapa Pat itu mungkin tidak mengerti apa yang dari tadi dibicarakan Tera dan Gea dalam bahasa ibu mereka. Tapi gadis asli Amerika itu hafal alasan Gea menyambangi kamarnya dengan Tera setiap akhir pekan, yaitu untuk mengajak Tera keluar yang biasanya juga selalu berakhir dengan Gea yang pergi sendirian, atau Tera yang terpaksa pergi dengan muka masam.
"Minggu depan acara ulang tahunnya Julian, ikut ya tapi..."
Tera mengangguk, "Iya. Udah ah sana berangkat, gue mau lanjut nugas."
Gea memanggut setengah hati sebelum melambai pada Tera dan Particia, kemudian berjalan keluar dari kamar mereka. Patricia tersenyum penuh arti pada Tera. Ia tahu Tera tidak mempunyai kerja kelompok apapun besok karena ia sudah berjanji pada Patricia untuk menemaninya belanja. Tera hanya memamerkan deretan giginya pada Patricia dan kembali sibuk dengan ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Know the Ending (Completed)
Roman pour AdolescentsSeseorang pernah berkata pada Luka, bahwa yang terpenting tentang mencintai adalah pengorbanannya. Tapi Luka kemudian jatuh cinta pada Tera, si ambisius yang tidak mau mengorbankan apapun dalam hidupnya untuk cinta. "Jatuh cinta itu mudah. Asal pad...