22. The Busy Life of Ceritera

346 60 3
                                    


"Selamat pagi..."

"Pagi."

Hanya itu. Sejak mereka semua kembali dari Brooklyn 2 minggu lalu, hanya sapaan basa-basi seperti itu yang keluar dari mulut Tera, juga Luka. Antara selamat pagi, siang, sore, malam; atau terkadang selamat tidur, jika mereka tidak sengaja bertemu malam hari di depan kamar.

Keseharian Luka seperti biasa, sedangkan Tera jelas semakin sibuk. Ia harus mengikuti kelas, mengambil kerja sambilan sebagai Teaching Assistant, mengurus klub, mengirim essay-essay dan rutin wawancara untuk semua beasiswa yang berusaha ia dapatkan, dan semester tiga ini, akan dipenuhi kesibukan baru yaitu mempersiapkan diri untuk pertukaran pelajar yang ingin ia ikuti saat semester 5 nanti. Persiapan dan pendaftaran dilakukan persis satu tahun sebelum keberangkatan. Semester ini. Besar harapan Tera untuk menjadi satu dari 20 orang yang berangkat ke 10 negara berbeda.

Gadis itu sudah merencanakan ini bahkan sejak ia masih di Jakarta, jadi apapun alasannya, ia tidak akan mengundur atau bahkan tidak mencoba sama sekali. Tera sebenarnya ingin  membicarakannya dengan Luka, namun dengan renggangnya hubungan mereka sekarang, Tera juga tidak bisa memprediksi apakah satu tahun lagi — jika ia diterima — kepergiannya akan penting di mata Luka.

Luka dan Tera, sama-sama sepenuhnya berhenti membicarakan perasaan mereka.

Seperti sama-sama berhenti jatuh cinta.

"Hei. Mau dibantuin?"

Tera mengangkat kepalanya dari tumpukan buku di pelukannya, mundur satu langkah begitu mendapati seseorang yang cukup lama tak lihatnya.

"Hai Kak," sapa Tera tersenyum simpul. Ia lalu menggeleng menolak halus tawaran Bimo, berkata ia masih sanggup menahan berat buku itu sampai ke kelas yang ditujunya. Bimo mengangguk kecil dan memilih berjalan di sebelah Tera. Gadis itu tidak bertanya kenapa Bimo mengikutinya, meskipun Bimo sebenarnya menunggu Tera bertanya. Ia tidak tahu harus mulai dari mana.

"Gue denger dari Julian, kakak balik ke Indo pas tahun baru?" Tera angkat bicara, tidak tahan dengan kecanggungan yang ada.

"Iya, lumayan tiga minggu," balas Bimo singkat.

"Gimana rumah?"

"Aman. Nggak tahu deh Jakarta gimana, tapi Bandung cukup sama sejak gue pulang terakhir kali."

"Lo ke sana lagi, Kak?"

"Ke mana? Cakra?"

Tera mengangguk. Ia mendengar cerita ini saat ia dekat dengan Bimo berbulan-bulan lalu. Pria itu bercerita tentang satu-satunya tempat selain rumah yang selalu jadi tujuannya setiap kali pulang ke Bandung. Kuburan temannya, Cakra. Pria 17 tahun yang meninggal dalam tawuran. Tera hanya tahu itu. Bimo selalu bercerita sampai situ saja.

"Iya, dan pertama kalinya setelah bertahun-tahun, gue punya keberanian untuk mampir ke rumah orangtuanya buat minta maaf," tutur Bimo. Tera tersenyum tulus ikut senang.

"Turut seneng, Kak," balas Tera. "Kakak ada yang mau diomogin lagi? Gue harus masuk kelas." Tera menunjuk pintu kelas dengan dagunya. Bimo membuka mulut, dan munutupnya lagi.

"Gue udah masuk tahun keempat, Ra. Kurang dari setahun mungkin gua udah nggak di Hamilton. Ini kesempatan gue minta maaf."

"Buat?"

"Buat semua waktu gue secara nggak langsung ngerendahin mimpi lo."

"Dimaafin. Makasih Kak buat permintaan maafnya. Gue duluan."

"Eh, Ra, bentar. Belum selesai."

Tera berhenti lagi, mengurungkan niatnya membuka pintu.

"Semua orang punya mimpi, atau setidaknya pernah punya mimpi. Cakra juga punya mimpi tapi dia nggak punya kesempatan. Lo punya mimpi, dan lo punya kesempatan. So, go for it. Setinggi apapun, se-nggak masuk akal apapun, secapek apapun... kejar aja."

We Know the Ending (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang