12. The First Snow

475 78 3
                                    


"What? Is he trying to be like this prince charming from a novel or something?" Patricia menyedot habis jus berwarna hijau yang entah apa bahannya itu dari gelas di tangannya sambil mengerutkan dahi menatap aneh Tera.

Tera mengendikan bahu. Menyimpan semuanya sendiri tentang perkataan Luka beberapa hari lalu ternyata lebih sulit dari yang ia bayangkan. Alhasil, ceritanya mengalir deras pada Patricia yang duduk tenang di atas kasurnya. Dan reaksi gadis itu hanya itu, mempertanyakan kenapa Luka berkata-kata seolah ia sedang memerankan sebuah film romansa di mana Tera adalah tokoh utamanya, dan Luka— pria sempurna yang datang tanpa pemberitahuan dan menjadi tokoh utama kedua dalam ceritanya Tera.

"I mean, you guys met like what... three months ago? And now he's telling you to fall in love with him? You got some weird shit going on." Pat lanjut menggigiti sedotannya, kebiasaan yang Tera kira hanya hinggap pada orang Indonesia.

Ia menghela napas lelah. "I'm confused."

"Well, you should be... if not, you're weird."

Tera ganti menopang dagu, menutup laptop dan menatap Patricia tepat di manik matanya, untuk pertama kalinya sejak bicara hati ke hati dengan teman sekamarnya itu.

"Ya terus kalau lo jadi gue, lo bakal gimana coba? Biasa aja? Apa kayak kesel gitu? Gue harus apa dong? Gue udah bilang sama dia jangan aneh-aneh, dianya nggak dengerin sama sekali," gerutu Tera asal, lupa bahwa Patricia tidak bicara bahasa ibunya.

"I don't understand any of the words you just said."

Tera menepuk dahi.

"So what would you do if you're me?" tanyanya.

"I would be annoyed. I mean he came and told you to try and see things the way you always oppose. You don't fall in love, Tera. That's what you told me when you moved in, and what you told me yesterday. Telling you to believe love would not stand your way on reaching your dreams is like forcing you to believe something against your belief. This may be a a little too much... but telling an atheist that God exists, this sounds exactly like what Luka is doing."

Analogi Patricia menohok Tera. Mungkin berlebihan, tapi benar. Tera percaya cinta. Ia percaya akan yang akan namanya jatuh cinta. Orangtuanya adalah cukup bukti bahwa cinta itu bertahan. Mungkin tidak bagi beberapa orang, seperti orangtua Luka — yang membuat Tera terkejut tentang bagaimana Luka masih bisa percaya cinta setelah melihat orangtuanya berpisah — dan beberapa orang lainnya yang rusak karena cinta. Tapi Tera tidak percaya bahwa cinta akan mendorongnya maju, seperti yang Luka katakan. Tera tidak percaya bahwa meski jatuh cinta, perjalanannya menggapai mimpi akan aman-aman saja. Tera tidak percaya ia punya cukup waktu untuk jatuh cinta. Di sini Tera yang ateis. Dan Luka yang berusaha meyakinkannya bahwa Tuhan itu ada.

"If I were you I'll brush him off and set my distance with him," terus Patricia yang membuat Tera tertegun. Tanpa sepengetahuannya, Pat mengangkat sedikit sudut bibirnya mengamati Tera yang tampak berpikir keras. Tak tahu apa yang dipikirkannya sebegitu dalam.

"But what did you do, Tera?" Patricia bertanya balik.

Pikiran Tera buyar, "Huh?"

"When he told you he's willing to be your heartbreaking poem, what did you do?"

Tera menjawabnya dalam hati. Saat pria dengan senyum seindah bulan sabit itu menyerangnya dengan kata-kata yang tidak diantisipasi Tera beberapa hari lalu, ia hanya menggelengkan kepalanya sambil terkekeh kecil, seperti meremehkan kata-kata Luka.

Namun ia tidak menolak.

Tera tidak membalasnya dengan makian.

Tera bahkan tidak memutar bola matanya. Ia tidak kesal.

We Know the Ending (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang