14. The Second Snow

373 79 2
                                    


Riuh tepuk tangan yang mengiringi langkah Tera turun dari atas panggung tidak membuat Luka yang dari kalimat pertama gadis itu mematung lantas ikut bersuara. Ia tetap diam. Tera pernah bilang, bahwa ia hanya akan menulis tentang Luka ketika mereka sudah berakhir dengan tidak baik-baik saja. Namun tentu pria itu tidak cukup gila untuk mengarang-ngarang bahwa puisi yang baru saja selesai dibawakan Tera itu adalah tentangnya.

"Is she talking about him?"

"She is definitely talking about him, you dumbass."

"Yesterday it was asshole, now it's dumbass. How about calling me sweetheart tomorrow?" Aaron menaikkan sebelah alisnya dan merangkul Patricia sok akrab.

Luka mengabaikan keduanya. Ia sudah sering dengar cerita kedua orang ini dari Tera. Patricia terlalu tenang untuk Aaron yang pecicilan. Patricia terlalu teratur untuk Aaron yang awut-awutan. Patricia terlalu setia untuk tukang koleksi pacar macam Aaron. Dan Patricia jelas terlalu gengsian untuk Aaron yang asal ceplos. Katanya, sejak awal masuk kuliah dan jadi tetangga, 2 orang ini tak pernah bisa tatap muka dalam diam. Pasti yang satu menggoda, dan yang satunya lagi akan murka.

Masih dengan latar belakang adu mulut Aaron dan Patricia, mata Luka mengikuti langkah Tera yang  kembali mengambil duduk di sebelah Xander bersama teman-teman klubnya yang lain. Luka dapat menangkap seringaian menggoda sepupunya itu, yang pastinya sedang mempertanyakan karya yang baru saja dibawakan gadis itu. Xander adalah salah satu orang yang mengenal betul prinsip Tera, sehingga kenyataan bahwa gadis itu mengingkari dirinya sendiri malam ini, menarik perhatiannya. 

Sejak kejadian Tera menangis di depannya dengan alasan yang sampai sekarang masih tidak Luka ketahui, dan kejadian pria itu menyatakan cintanya secara terang-terangan pada Tera, minggu berlalu seperti tak pernah terjadi apa-apa. Malah hubungan keduanya menjadi lebih baik dibanding sebelumnya. Luka bergidik sendiri kalau mengingat caranya berkata bahwa ia tidak hanya jatuh cinta pada Tera, namun juga pada mimpi gadis itu. Pernyataan yang tadinya ia pikir akan ia simpan sampai Tera sedikit memberikan lampu hijau untuknya.

"You didn't tell me you're finally dating her..." Samuel yang duduk di sisi kiri Luka menatapnya penasaran. Luka menghela napasnya, melihat sahabat menyebalkannya itu dan menggeleng.

"I'm not," balasnya singkat.

"Then why is she talking about you?"

"Because she's a writer and I'm a good material." Luka beranjak dari duduknya, berniat keluar sejenak untuk mencari udara malam, tidak lagi tertarik melihat pertunjukkan yang selanjutnya. Tiba-tiba ruangan besar ini dalam sekejap jadi sumpek.

Aaron dan Patricia secara kompak memicingkan matanya pada Samuel sepeninggal Luka. Sam menggaruk kepalanya bingung. Apa ia salah bicara? Perasaan tidak.

Luka merapatkan jaketnya di depan pintu gedung pertunjukkan itu untuk mengahalau dinginnnya Desember yang suhunya semakin turun sejak malam natal 2 hari lalu. Bedanya Clinton dengan Brooklyn, bahkan dengan Jakarta adalah kota ini tetap sepi pada malam natal. Seakan semua penghuninya berlomba-lomba keluar dari sini untuk mencari keramaian. Tapi Luka menyenanginya. Lelaki itu selalu suka ketenangan.

Di dalam gedung, Tera yang iseng melirik ke arah Luka mengernyit ketika tak lagi melihat pria itu duduk di tempatnya semula. Berkata akan pergi ke toilet dan mencari minum di supermarket seberang gedung, Tera menerima titipan kopi panas dari Xander dan berjalan keluar, mencoba mencari Luka.

"Kamu pernah bilang mau tahu rasanya jadi tulisanku," tutur Tera begitu menemukan Luka yang bersandar pada tembok depan gedung, menatap dalam diam jalanan Clinton yang hanya sesekali menimbulkan suara mesin knalpot.

We Know the Ending (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang