7. The Shocking Offer

512 98 1
                                    


Luka menghentikan sepedanya dan membiarkan Tera turun lebih dulu. 16 menit menggowes menuju taman ini bukanlah sesuatu yang baru bagi pria itu. Kalau Tera banyak menghabiskan waktunya mendekam di kamar atau menulis di Utica, Luka menghabiskan hampir setengah minggunya menghirup udara segar di taman ini. Tidak banyak tempat hiburan di Clinton, terlebih untuk mahasiswa cukup sibuk macam dirinya dan Tera, maka pria berlesung pipi itu selalu jatuh pada tempat dimana ia bisa mendapatkan keduanya dalam satu waktu. Hiburan sambil tetap mengerjakan kewajibannya. Meskipun tidak jarang orang-orang yang lewat memandangnya tak wajar ketika ia berbicara sendiri mencoba menghafal naskahnya atau ketika ia tiba-tiba tertawa dan mencoba menangis untuk melatih ekspresinya, setidaknya orang-orang itu cukup baik untuk tidak mengusirnya.

Tera berjalan lebih dulu, duduk di salah satu kursi panjang tanpa meja dan mengeluarkan makanan yang tadi mereka beli di salah satu minimarket dalam perjalanan ke sini dari plastiknya. Luka menyusul di belakang. Sejak telepon dari mamanya, Luka jadi semakin mengerti kenapa Tera merasa semua orang menentang mimpinya. Sebenarnya, tidak ada yang bisa Luka lakukan tentang itu sekarang, selain jadi satu orang baru yang mendukung Tera dan mimpinya. Dan mungkin untuk waktu-waktu dalam hari-hari seperti ini, dapat menjadi pengalihan perhatian Tera dari hal-hal yang tidak seharusnya gadis itu alami. Entah Luka yang terlalu ramah, atau peduli pada Tera memang terlalu mudah.

Tera memasukkan ujung sumpit dengan potongan salmon mentah ke dalam mulutnya sambil mengedarkan pandangannya ke penjuru taman yang hampir kosong. Hanya hamparan hijau dan beberapa orang lewat yang didapatinya. Tera belum pernah pergi ke sini hanya untuk makan malam. Bahkan terakhir kali ia pergi ke sini adalah untuk menemani Gea menonton gebetannya bermain bola. Itu juga karena dipaksa.

"Kamu lebih kelihatan kayak orang yang tiap Jumat malam pesta ke sana-sini dibandingkan duduk sendirian di taman." Tera memecah keheningan di tengah kunyahannya.

"Wow, are you stereotyping people now?" sahut Luka membuka makanannya sendiri.

"Enggak. Kamu mengejutkan aja. You keep on surprising me."

"How so?"

"Pertama, kamu makan sushi pake saus tomat. That's disgusting." Tera mengerutkan hidungnya melihat Luka mengeluarkan saus tomat yang entah ia dapat dari mana dan mencocol sedikit sushinya dengan saus merah tersebut. Luka hanya mengangkat bahu dan melanjutkan kegiatannya. Komentar Tera bukan yang pertama diterimanya.

"Kedua, karena kamu ninggalin Brooklyn buat ini." Tera menunjuk hamparan hijau di depannya dengan ujung dagunya.

"Ketiga, kamu orang pertama yang nggak nanya kenapa Spoken Word Poet."

"Keempat, kebetulan atau bukan, kamu selalu muncul di saat yang benar. Aku baru kenal kamu sebulan, Ka, and yet I can't count how many times you assure me about my dream."

Luka membalas Tera dengan kalimat paling sederhana, namun cukup untuk gadis itu. "Senang bisa bantu, Ceritera."

"Tadi aku nggak sengaja dengar. Kamu... nggak pulang tahun ini?" Luka lanjut bertanya, Meski merasa sedikit tidak enak karena sempat menguping sedikit pembicaraan Tera dengan mamanya dari jarak cukup jauh.

Tera menggeleng.

"Kenapa? Acara kita kan nggak pas tahun baru. Kamu bisa pulang beberapa minggu sebelum kuliah mulai," tambah Luka. Tera menggeleng lagi.

"Baru mau delapan bulan, Ka, aku di sini. Aku belum bisa bawa apa-apa buat pulang. Kalau aku pulang sekarang, aku takut akan milih nyerah waktu lihat mama sama papa nanti. Aku belum siap pulang." Dan itulah alasan sesungguhnya Tera memilih untuk tidak pulang tahun ini. Alasan yang bahkan belum ia katakan pada Gea. Untuk saat ini, rasanya lebih aman bercerita pada Luka. Luka selalu percaya pada semua keputusan yang dibuat Tera.

"Kamu sendiri? Nggak ke Jakarta, ketemu papa kamu?" Ganti Tera bertanya.

"Udah banyak Desember yang aku lewatin sama papa. I'm making it up to my mom."

Tera memanggutkan kepalanya. Jadi Luka akan menghabiskan liburannya di Brooklyn. Dan Tera akan mengurung diri di kamarnya, menyaksikan Clinton yang pasti semakin sepi ketika banyak pelajar memutuskan kembali ke kota atau negara asalnya.

"Ah, do you want to come?" tawar Luka, yang hampir membuat potongan sushi Tera masuk ke tenggorokan. Hampir.

"Come again?"

"Mau ikut ke Brooklyn? I got so many spare rooms and my mom really won't mind. I know her. You can ask your friends to come," ulang Luka.

Tera masih diam dan menatap Luka seakan pria itu kehilangan kewarasannya. Luka menggaruk tengkuknya yang tak gatal karena tiba-tiba suasana berubah canggung. Sepertinya ia salah langkah menawarkan hal itu pada Tera yang baru dikenalnya kurang lebih 1 bulan ini. Mereka belum sedekat itu. Dan Tera pasti belum senyaman itu untuk mengiyakan ajakan gilanya.

"I mean... nggak banyak yang bisa kamu lakuin sendirian di Clinton and well, there's a lot to do in Brooklyn. Despite of being busy all year, NYC is extremely wonderful at new year." Luka tidak percaya dirinya malah semakin berusaha meyakinkan Tera untuk menerima tawarannya.

"My mom's also a great cook," lanjut Luka.

"And I bet there will be lots of new things to see and write about,"

"I'm going to shut up now. It's really up to you, Ra. Kalau nggak mau ya nggak apa-apa." Luka mengatupkan bibirnya rapat setelah kalimat tersebut dan akhirnya berhenti bicara.

"I'll think about it, and I'll get back to you."

Jawaban Tera lebih baik dari yang Luka kira. Luka mengangkat kedua jempolnya dan kemudian beralih memasukkan kotak-kotak kosong bekas makanan mereka ke dalam plastik sebelum membuangnya ke tempat sampah tak jauh dari sana. Tera menyaksikan punggung Luka dan berandai tentang mengiyakan ajakan Luka. Menghabiskan akhir tahun di Brooklyn pasti ada dalam halaman semua buku harian mereka yang tumbuh menonton film dan serial romantic comedy yang kebanyakan berlatarkan NYC. Tera adalah salah satunya. Hubungan romansa memang bukan hal yang ingin dijalaninya sekarang, tapi bukan berarti Tera tidak mengagumi hal itu. Romance always fascinates her. Dan karena Tera banyak menulis tentang cinta, ajakan Luka adalah kesempatan baginya. Bukankah bodoh jika ia tolak?

Luka kembali duduk di sebelah Tera, menatap langit yang mulai berubah sedikit gelap. Pria itu lalu teringat sesuatu sebelum mengeluarkan 1 lembar kertas tipis dari sakunya dan menyerahkannya pada Tera.

"Ini apa?" tanya Tera setelah menerimanya.

"A ticket to a play for my production class. Gratis sih, cuma terbatas. So, I saved one for you."

Tera membaca tanggal yang tentera di sana. Luka beruntung sekali, tampil di hari di mana gadis itu hanya mempunyai satu kelas, dan tidak bertabrakan dengan jam tersebut.

"Love Letter: A Song." Tera membaca judul yang ditulis dengan ukuran paling besar di kertas kecil itu. Luka memanggut. "Tentang apa?" lanjut Tera bertanya.

"Surat cinta, dalam bentuk lagu," jawab Luka, hanya mengulang judul tersebut dalam Bahasa Indonesia. Tera terkekeh. Pertanyaannya memang aneh ketika isi pertunjukkan itu sudah tampak hanya dari judul 4 kata itu saja.

"So, I guess... you're the lead role then?" tebak Tera, yang didasari pegetahuan bahwa Luka sangat piawai dalam bernyanyi dan memainkan alat musik. Tidak butuh 1 detik bagi Luka untuk mengangguk semangat menjawab Tera.

"Kamu juga yang tulis naskahnya?" tanyanya lagi.

Luka menggeleng, "Temenku."

Tera mengangguk mengerti.

"Jadi... bisa?" Luka memastikan.

"I'll be in the front row."

W.K.T.E

We Know the Ending (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang