19. The Lake House

376 75 1
                                    


"Besok berangkat jam berapa?" Tera bertanya pada Luka yang sedang duduk di sebelahnya, memainkan video YouTube secara acak di ponselnya. Pria itu menoleh.

"Sebangunnya aja sih. Lebih pagi lebih baik," jawabnya.

Montauk di akhir tahun merupakan salah satu destinasi turis paling banyak diminati, terutama bagi keluarga, meskipun memang tidak seramai saat musim panas. Namun kalau mereka terjebak dalam macet di perjalanan, akan sangat sayang waktu karena mereka juga hanya akan bermalam satu malam. Tera mengangguk mengerti, masih sukar percaya ia akan bermalam di Montauk. Ia gugup, namun tak sabar.

Matanya beralih menatap pemandangan di sekelilingnya. Langit mulai gelap. Manhattan Bridge yang kelihatan membentang dari tempat mereka duduk di penghujung hari itu menyita perhatian Tera. Bincangan ringan dapat ia dengar di telinganya, dan suara tawa khas milik Xander itu mau tak mau membuatnya ingin ikut tertawa. Tadi kakak tingkat dan teman adu mulutnya itu secara mengejutkan menampakkan diri bersamaan dengan Ally. Katanya, ia sedang berlibur ke rumah kekasihnya, Anne. Namun karena Anne sedang ada acara keluarga tahunan yang tak bisa gadis itu tinggalkan, maka Xander menghubungi tantenya berniat mengajak makan malam bersama mamanya. Lebih mengejutkan lagi bagi Xander kalau ternyata adik sepupunya sedang ada di Brooklyn bersama teman-temannya. Mengetahui ada Tera bersama dengan mereka, Xander tentu saja tertarik ikut menghampiri. Ia tidak tahu Luka dan Tera membuat kemajuan sejauh itu sampai memutuskan menghabiskan akhir tahun bersama.

"Kamu udah nonton ini belum sih, yang filmnya Dear Evan Hansen?" Luka menyerahkan ponselnya yang memainkan trailer salah satu film baru yang diangkat dari salah satu teater musikal terkanal. Luka pernah menonton pertunjukannya di salah satu teater broadway di NYC beberapa tahun silam. Begitu filmya keluar, sudah jadi resolusi tahun Luka untuk menontonnya, meski nyatanya ia belum sempat. Menonton musikal sebesar itu — hingga mendapatkan penghargaan Tony — , adalah satu dari jutaan caranya belajar. Satu dari jutaan caranya tetap menghidupkan mimpinya.

Tera menggeleng. "Aku nonton musikalnya waktu itu pas mereka tur di Singapura. Tapi filmnya belum. Kata banyak yang kritik nggak sih karena Ben Platt lagi yang main?"

Luka pernah membacanya. Katanya usia Ben Platt sudah tidak cocok lagi dengan peran yang diperankannya bertahun-tahun dari panggung ke panggung itu. Tapi dari semua pemain Dear Evan Hansen, menurut Luka Ben Platt-lah yang pertama kali benar-benar membuat judulnya hidup, jadi sejujurnya Luka tak begitu keberatan.

"Nonton bareng yuk, filmya?" tawar Luka. Tera mengalihkan pandangannya. Seharusnya dari awal tahu kenapa mereka tiba-tiba membicarakan Dear Evan Hansen.

"Kalau ada waktu?" tanya Tera balik. Luka menghela napas; sudah memprediksi.

"Kalau ada waktu."

Pembicaraan keduanya terpotong saat Xander meminjam Luka sebentar untuk membantunya mengangkat makanan yang tadi mereka pesan tak jauh dari sana untuk mengangkatnya ke atas meja dekat tempat mereka duduk. Xander tentu saja, menjadi dirinya, tak bisa menahan penasarannya.

"What did you do to get her to come to Brooklyn?"

"An invitation?" Luka mengendikan bahunya, berkata jujur. Ia tidak ingat melakukan apapun untuk memaksa Tera pergi. Ia juga tidak membujuk gadis itu terlalu berlebihan.

"She has always wanted to go to NYC. I think that's why she thinks about this as an opportunity to go," lanjut Luka.

"Are you guys doing okay?"

Luka tak mengerti pertanyaan Xander, tapi tetap berusaha menjawabnya.

"Aside from the part where I am hopelessly in love and she doesn't, we're doing great." Luka mencoba bergurau, tapi tidak terdengar seperti itu di telinga Xander.

We Know the Ending (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang