29. The Bitter Tasted Ice Cream

311 70 4
                                    


Tera selalu menyukai Clinton di pagi hari. Lain dengan kota kelahirannya, kota kecil ini tak pernah panas. Matahari memang bersinar terang, tapi tak pernah sekalipun membakar siapapun di bawahnya.

Di sebelah Tera yang sedang duduk mengepalkan tangannya sambil menatap ke hamparan hijau di depannya, Gea sedang sedang mendengus menyumpahi apapun itu yang ada di layar laptop miliknya.

Pagi ini Tera tidak menyukai Clinton, tidak menyukai gedung-gedung kampus yang mengelilingi taman yang sedang ia singgahi bersama sahabatnya itu. Pagi ini Clinton mengkhianatinya. Kota yang sangat dicintainya itu, membencinya.

"Gila, nilai apaan nih?!" Gea mengacak rambutnya kesal sebelum menggigit kuku-kuku jarinya dirundung takut, membayangkan akan seperti apa reaksi orangtuanya ketika ia memperlihatkan nilainya yang seperti hutan kebakaran itu.

Hari ini, setelah beberapa minggu libur dimulai, adalah hari pengumuman nilai akhir untuk kuliah mereka semester ini. Gea harus mengakui, pindah ke Amerika sedikit membuatnya kelabakan akibat kebebasan yang baru kali itu dirasakannya. Ia sadar bahwa wajar saja kalau nilainya seperti sekarang ini, karena untuk sejenak ia lupa bahwa ia datang untuk belajar. Tak henti-hentinya gadis yang kini berambut pendek itu berdecak.

Gea mencoba melirik ke arah Tera, ingin bertanya perihal nilainya. Tapi yang didapati Gea adalah Tera yang mengepalkan tangan, menggigit bibir kencang, dengan air mata yang turun tanpa ampun. "Ra?" Gea meletakkan tangannya di pundak Tera. Apakah nilai Tera seburuk itu? Gea bahkan tak yakin Tera bisa mendapat nilai buruk.

"Lo kenapa?" lanjut Gea bertanya hati-hati.

Tera terus menangis sebagai jawabannya, tapi akses ke laptop Tera cukup mudah ketika layar itu terpampang begitu saja di depan mereka. Gea membulatkan matanya, bahkan mulutnya terbuka lebar akibat semua huruf di sana. Apa yang salah?

"Ra, gila, lo manusia bukan sih? Ini bagus banget. Lo nangis bahagia ini?" Gea memajukan kepalanya takut-takut salah lihat.

Kuku Tera meninggalkan bekas di telapak tangannya akibat kepalan yang terlalu kuat. Gea tidak mengerti.

"Tiga koma tujuh, Ge," katanya singkat, tak menjelaskan apapun.

"Tiga koma tujuh apaan?"

"GPA minimum buat keterima Nottingham."

"Hah?"

Mata Gea turun ke bagian paling bawah layar.

Cumulative GPA: 3.60

"Gue nggak bisa pertukaran ke Nottingham," tutur Tera pelan; pelan sekali, tidak ingin dunia mendengarnya.

//

"Hei," Luka mengelus puncak kepala Tera pelan. Tera tersenyum kecil berusaha menutupi hatinya yang sedang berantakan. Rencananya ia ingin menemui Luka dan bicara tentang semua yang terjadi hari ini, tapi ternyata itu lebih sulit dari yang ia bayangkan. Tera hanya benar-benar berterima kasih pria itu tidak menanyakan bagaimana hasil nilainya semester ini.

Satu mimpinya kandas pagi tadi. Dan hal tersebut tak ada di dalam agenda Tera. Nottingham adalah salah satu langkah besar yang seharusnya ada dalam genggaman Tera, tapi kenyataan bahwa hilang sudah kesempatan itu, tidak hanya membuatnya menyalahkan kelalaiannya, namun juga Luka. Dan Tera tidak ingin menyalahkan Luka; mereka baru saja berjanji untuk tak saling menyalahkan.

Tera memerhatikan Luka yang mengambil tempat di seberangnya, lalu mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan kecil itu. Satu-satunya dapur di lantai itu, dengan satu gelas cokelat panas di meja, persis seperti yang ada dalam ingatan keduanya.

We Know the Ending (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang