33. The Way We Leave

887 73 1
                                    


"Is this the new Kaluka? Alcohol at two p.m. doesn't sound like you." Tera menggoyangkan pelan gelas besar berisi bir miliknya.

"I just don't think I can meet you normally over ice cream. Beer screams old friends that haven't talked in years better."

Tera terkekeh, mencoba untuk baik-baik saja dengan semua yang sudah dan akan terjadi setidaknya untuk berberapa jam ke depan, selama ia duduk manis di depan pria yang masih menimbulkan debaran yang sama dengan yang meninggalkannya di bandar udara beberapa tahun silam.

"Kamu apa kabar, Tera?"

Pertanyaan Luka mudah. Itu pertanyaan yang sederhana. Tapi mengumpulkan keberanian untuk berkata yang sejujurnya lebih sulit dari yang selama ini ada dalam benak gadis itu.

"Lebih baik dari kemarin-kemarin," jawabnya tanpa penjelasan lebih lanjut. "Kamu sendiri?"

"Capek. Tapi ngehidupin mimpi aku, ternyata lebih menyenangkan dari yang selama ini aku bayangin. Life has been pretty nice to me this past year."

Tera langsung menangkap apa yang sedang Luka bicarakan. Mimpinya mengelilingi dunia dari panggung ke panggung teater sudah dalam genggamannya, bahkan menjadi kesehariannya. Luka sudah ada dalam mimpinya, dan meski kadang tertutup memori lama mereka, Tera dapat melihat jelas binar bahagia di mata pria itu.

"Selamat ya buat tur-nya. Aku emang belum nonton satu pun show kamu, tapi aku tahu banget kok semenakjubkan apa kamu."

Luka menggumamkan terima kasih untuk pujian tulus Tera.

"Kamu sampai kapan di Brooklyn?"

"Aku bakal ketemu sama beberapa orang dari salah satu organisasi poetry di sini, dan aku rencana tinggal mungkin tiga minggu sampai sebulan. Habis itu balik ke Jakarta for good. Nggak menutup kemungkinan aku bakal bolak-balik Brooklyn-Jakarta karena masih harus banyak belajar dari mereka dan have conversations with them. But I'll be officially moving out from The States next month."

Officially moving out from The States.

Luka meringis dalam hati. Kalimat tersebut terasa begitu menyakitkan entah karena apa. Namun ia memanggut, sudah bukan siapa-siapanya Tera untuk mempertanyakan semua keputusannya.

"Ka, aku nggak yakin pernah bilang sama kamu tentang ini. Tapi aku pengin kamu tahu, aku nggak pernah nyesel ketemu sama kamu, jatuh cinta, pacaran, dan patah hati sama kamu. I didn't go to Nottingham, but Kaluka, I would do it all over again. Kamu pasti nggak percaya bakal denger ini keluar dari mulut aku, tapi kalau kita ulang waktu, aku akan tetap pilih kamu dari Nottingham, no matter how silly this may sound. Aku nggak tahu kapan bakal ketemu kamu lagi, jadi aku mau ngelurusin ini aja sama kamu." Tera menarik napas dalam.

"I would still go to Clinton, still be your neighbor, still walk hours just to get ice cream with you, still spend nights talking unnecessary stuff with you, still skip my class, still ignore my professor's email, still miss my deadlines, still lose Nottingham, still fall in love with you, still trying get over my worst possible break up, still stop talking to you for two whole years, and I would still be here, even if from the start I knew how the ending will be."

Tera tersenyum halus.

Senyum yang tak akan dilihat Luka lagi hingga musim dan tahun berganti.

"Aku nggak akan pernah selesai mempertanyakan semua keputusan aku, Kaluka. Sampai kapanpun. Sampai mati pun aku bakal selalu bertanya apa aku harus terus perjuangin mimpi aku jadi Spoken Word Poet. Tapi untuk waktu yang singkat, kamu pernah jadi satu-satunya keputusan paling benar dan paling nyata yang pernah aku buat. Jadi terima kasih, Kaluka. Thank you for being my favorite alternate ending. I do hope if we meet in the next life, we won't be two people with dreams that are too high."

Luka meneteskan air matanya bersamaan dengan dering telepon masuk di ponsel Tera.

Ceritera Kanagara harus pergi.

//

Montauk, Desember 2025

"In Montauk, I can take my time,"

Tera pernah berkata pada Luka bahwa kalimat tersebut adalah satu kalimat paling disukainya dari penyair kesayangannya. Dan duduk di sini, mengulang pemandangan dan dingin yang sama, Kaluka bertanya-tanya apakah kalimat tersebut ada benarnya. Sejak pertemuan terakhirnya dengan Tera satu bulan lalu, dan setelah mengetahui bahwa gadis itu sudah dengan selamat mendarat di Jakarta, Luka mengambil waktunya. Pria itu menghitung tiap detik yang dilaluinya, harapnya agar waktu tak begitu cepat berlalu hingga mereka tak perlu terlalu cepat menjadi asing.

Luka pantas mendapatkan tepuk dan soraian atas usahanya berusaha meyakinkan diri bahwa ia dan Tera hanya tinggal cerita yang pernah jadi buku paling dicintainya, dan kini sudah bukan lagi. Jujur ia tidak pernah menyangka akan sampai pada titik ini, tapi mungkin sekarang ia sudah benar-benar baik-baik saja.

Senyumnya menatap hamparan laut meski tanpa Tera di sampingnya, membuktikan keadaannya.

Tak terasa sebentar lagi dirinya juga sudah harus meninggalkan Clinton dan memulai hidup di NYC, mengadu nasib yang sekarang harusnya sudah lebih baik.

Luka mengembuskan napas lega, menyerap semua dingin yang mengetuk-ngetuk kulitnya, sebelum berdiri.

Kaluka Sandyakala juga sudah siap untuk pergi.

W.K.T.E

One more chapter to go😭

We Know the Ending (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang