Luka menatap jam tangannya ragu, lalu menggigit bibirnya meluapkan semua rasa bersalahnya. Kali ini ia yang egois. Dalam hati, pria itu menertawakan kekanakannya. Tak sampai berapa menit, bus yang sedang dinaikinya berhenti, 2 pemberhentian lewat dari di mana ia seharusnya turun.Setelah 2 minggu tak banyak bicara dengan Tera karena entah kenapa pacarnya itu menjadi sulit sekali dihubungi, Tera akhirnya mengiyakan ajakan makan malam Luka setelah belasan penolakan. Bukan salah Luka kalau belakangan ini hatinya terbakar. Bukan dengan amarah, namun kecewa. Dan semua orang tahu ke mana rasa kecewa dapat membawa seseorang pergi. Rasa kecewa Luka mengantarnya ke sini. 45 menit lewat dari waktu janjiannya dengan Tera, dan ia masih di sini. Ditambah harus berjalan lagi ke restoran yang ditujunya, Luka baru akan sampai dan menemui Tera terlambat 1 jam dari yang dijanjikan.
Luka tidak merasa sebersalah ini kalau ia tidak melakukannya dengan sengaja. Tapi Luka tahu seharusnya ia mengambil 3 bus sebelum yang ia tumpangi, namun ia tetap memilih yang terakhir meski ia tahu jelas tak akan sampai tepat waktu. Luka tahu ia seharusnya tidak membuat waktu janjiannya hanya 15 menit setelah kelasnya selesai karena tak mungkin ia sampai tepat waktu, tapi ia tetap melakukannya. Luka tahu seharusnya ia turun di 2 pemberhentian sebelum ini, tapi Luka merasa Tera belum menunggu cukup lama, jadi ia memilih turun di tempat ini dan membuat Tera menunggu sedikit lebih lama.
Luka egois, dan kekanakan. Luka salah dan ia tahu betul ia salah. Luka bukan seseorang yang suka bałas dendam, tapi ia lupa kalau semua orang punya batasannya. Luka juga hanya manusia biasa. Ia bisa lelah. Dan menunggu Tera 16 kali yang diakhiri tanpa kehadiran gadis itu, adalah batasan milik Luka.
Ia benci mengakui ini, tapi Luka lelah.
Luka mendorong pintu masuk restoran sambil membuang napas yang tak ia sadar ditahannya. Tak butuh waktu lama baginya untuk menemukan Tera yang duduk di samping jendela, melakukan kegiatan kesukaanya. People watching.
Mata Tera berbinar begitu melihat Luka melangkah ke arahnya.
"Hai," sapa gadis itu lembut.
Tidak ada pertanyaan.
"Kamu udah laper belum? Aku mau mesen cuma nggak tahu kamu lagi pengin apa," ucap Tera membalik menu di hadapannya selagi Luka masih diam.
"Tadi gimana kelasnya seharian? Did something fun happen?" Tera mengangkat kepalanya untuk menatap wajah tampan di depannya.
"Kamu nggak nanya kenapa aku telat? Sejam?" Luka balik menatap manik mata Tera.
Gadis itu menggeleng. "I know I deserve this much. Nggak seberapa kan ini kalau dibandingin sama berapa kali aku biarin kamu nunggu meskipun akhirnya aku nggak dateng?"
"Kita nggak lagi lomba biarin satu sama lain nunggu, Tera."
"Aku nggak bilang kamu kalah, Ka."
"Aku nggak mikir aku kalah, dan kamu juga nggak menang."
Tera berhenti berkutat dengan daftar makanan meski perutnya bergejolak.
"Kamu mau makan apa, Luka?"
"Ra, aku ngerasa bersalah banget sama kamu."
"Karena telat sejam? Itu biasa, Luka. It's okay, I totally understand. Nggak usah dipikirin. Nunggu sejam nggak ada apa-apanya sama yang selalu kamu lakuin."
"Tapi kamu nggak ngerti, Tera. Aku tahu aku bakal telat sejam. Aku nggak punya alasannya. Aku bisa sampe di sini satu jam lalu kalau aku mau. Kamu tahu kenapa aku baru sampe? Karena aku berharap kamu ngerasain apa yang selalu aku rasain, dan aku benci untuk tahu that I'm capable of doing that. That I'm capable of wanting to get revenge to you. I hate to know that I too, have my limit."
Tera mengatupkan mulutnya rapat berusaha untuk tidak memotong luapan emosi Luka. Tera berharap hidupnya seperti ratusan buku romansa yang dibacanya. Ia berharap hujan turun seperti yang selalu terjadi setiap karakter buku yang dibacanya mengalami yang ia alami detik ini. Tera berharap langit berhenti menertawakannya dengan sinar mataharinya yang kelewat cerah. Ia berharap jendela di sebelahnya menyusut agar tak seorang pun di luar sana melihat air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Kalau ia berkedip barang satu kali saja, dua insan itu akan berakhir dengan tak makan malam; dan hanya akan mengecap asin air mata.
Rentetan kalimat yang sudah ada di ujung lidah Luka tertahan melihat air mata yang sekuat tenaga Tera tahan agar tak mengalir di pipinya.
"Kamu yang waktu itu bilang kamu beda. Kamu yang bilang nggak akan capek. Aku percaya sama kamu, Ka. Bahkan di saat yang kamu omongin itu mustahil, aku percaya sama kamu," cicit Tera.
"Aku udah ingetin kamu kan, Ka? Buat jalin hubungan sama aku, sayang aja nggak cukup," lanjutnya.
Tak hanya Tera, Luka juga mati-matian menahan dirinya agar tak ikut mulai menangis meski rasanya hanya itu yang ingin dilakukannya. Apa yang terjadi dengan mereka?
"Terus sekarang kamu maunya apa, Kaluka? Kamu maunya gimana? Gimana caranya supaya kita nggak selalu salah-salahan?"
Luka memijit batang hidungnya menghalau sakit yang mulai naik ke kepalanya. Dalam bayangan Luka, ada wajah keduanya yang dipenuhi bekas air mata; ada pelayan yang kebingungan bagaimana cara membuat tamunya itu memesan sesuatu; ada tawa penuh ledek Bimo; ada Montauk yang tak lagi indah; ada kalimat perpisahan yang terucap begitu saja.
Tapi Luka terlalu sayang Tera. Terlalu sayang Tera untuk menyerah.
Luka menghapus semua angka di kepalanya; memulainya kembali dari nol. Tidak ada lagi angka 16.
Pria itu menghapus sedikit air mata di ujung mata, kemudian berpindah duduk ke samping Tera yang sekarang sudah menangis sesenggukan sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. Tangan Luka terulur untuk menarik Tera ke dalam pelukannya, membiarkan gadisnya itu menangis di sana. Dagu Luka terletak manis di pucuk kepala Tera, ikut merasakan tubuh lelah itu bergetar.
"Kita baik-baik aja, Tera. Kita baik-baik aja," tutur Luka membubuhkan satu kecup panjang di kening gadis itu kemudian.
Dan Tera tidak berhenti menangis, sampai seloyang pizza dan satu piring fettuccini carbonara sampai di meja mereka, dan sampai Luka menyendokkan sendiri makanan tersebut padanya yang kehabisan tenaga, dan air mata.
W.K.T.E
Kalian pernah juga nggak ada di posisi harus memilih antara cinta atau mimpi? Kalau berkenan, boleh sekali jadikan ini lapak cerita kalian juga ya🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
We Know the Ending (Completed)
Fiksi RemajaSeseorang pernah berkata pada Luka, bahwa yang terpenting tentang mencintai adalah pengorbanannya. Tapi Luka kemudian jatuh cinta pada Tera, si ambisius yang tidak mau mengorbankan apapun dalam hidupnya untuk cinta. "Jatuh cinta itu mudah. Asal pad...