Bab 12: Makan Malam

13.8K 1.8K 241
                                    

"Mereka berdua sekeras batu"

Keputusan itu belum didapat karena Haechan terbelenggu oleh program kerja musim panas yang akan datang sebagai akhir dari masa kepengurusannya. Musik Kampus menjadi acara rutin tahunan Senat Fakultas Ekonomi dan Bisnis sekaligus penutup pengurus yang menjabat setahun belakangan. Tentu saja menyita waktu lumayan banyak, bahkan konsep sudah dibicarakan sejak akhir musim gugur tahun lalu hingga dibentuk panitia yang memang fokus ke acara penting ini.

Renjun secara pribadi juga sama tak siapnya. Hingga mereka berjanji akan mulai berbicara kepada orangtua masing-masing setelah musik kampus benar-benar selesai agar tak menjadi beban. Walau begitu rencana tak berjalan sesuai dengan kenyataan.

Setelah rapat yang panjang dan melelahkan, Haechan akhirnya sampai rumah kurang dari pukul dua belas malam. Lampu rumah telah mati kecuali area taman depan yang dipenuhi bunga-bunga milik sang ibu. Buru-buru ia masuk lewat pintu yang menjadi penghubung garasi dan rumah, Haechan menuju kamarnya di lantai dua. Tak sabar untuk mengganggu tidur si manis karena dari kemarin mereka belum punya kesempatan untuk bertemu.

"Haechan..."

Baru tiga anak tangga diambil, Haechan membalikkan badannya melihat sang ibu yang berdiri di bawah tangga. Di umurnya yang hampir berkepala lima, ia masih sangat cantik memakai gaun tidur berwarna biru muda.

"Ibu... Kenapa belum tidur?" Haechan kembali turun, mendekati ibunya yang tak biasa masih terbangun di jam segini.

"Menunggu anak lelaki yang tak pernah terasa keberadaannya di rumah."

Sindiran itu cuma mendapat senyum kecil, sudah terbiasa mendengar keluhan seperti ini dari sang ibu. Sejak lulus SMA, Haechan telah berniat untuk tak sering-sering berada di rumah yang membuatnya terjebak pada organisasi kampus. Walau membuat pusing, setidaknya lebih baik daripada menjadi gila di rumah sendiri.

"Mau kubuatkan susu hangat? Sudah lama ibu tidak merasakan minuman buatanku." Haechan menggandeng ibunya menuju dapur, berusaha mencairkan hati sang ibu yang pasti dipenuhi rasa kesal.

"Jika tidak enak, ibu akan tetap memarahimu karena lupa rumah."

Haechan tersenyum sembari dirinya menyibukkan diri memanaskan air. "Aku selalu pulang, bu." Dua sendok bubuk susu dimasukkan ke cangkir besar kesayangan sang ibu, tak lupa satu sendok teh gula agar rasa manisnya keluar. Resep yang dihapal mati Haechan sejak kecil.

"Kau pulang hanya untuk tidur dan makan. Terkadang harus ibu yang memaksamu untuk makan bersama."

Bunyi desisan yang keluar dari pemanas air terdengar menyebalkan, mengganggu ucapan nyonya Lee yang masih dalam mode serius. Haechan segera mematikannya dan menuangkan ke cangkir sebelum kembali berubah suhu. "Sebentar lagi masa jabatanku akan selesai, ibu tidak perlu khawatir lagi." Haechan mengaduk hingga air bening itu berubah menjadi putih, uap panasnya menguar hangat hingga cangkir besar itu pun ikut berubah suhu. Ia meletakkan di meja makan, tepat dihadapan sang ibu.

"Ibu tidak khawatir soal itu. Ibu hanya sedih, anak lelaki ibu terasa makin jauh."

Bunyi detak jarum jam menjadi penguasa pada keheningan di ruang makan. Tak ada satu pun balasan yang bisa Haechan keluarkan, bahkan dirinya pun tak ingat kapan terakhir mereka bertatap muka dan bercerita seserius ini. Haechan cuma ingin kabur dari tempat yang bahkan tak terasa seperti rumah, sesayang apapun dirinya pada sang ibunda. Jadi wajar mereka berdua merasa saling menjauh.

"Sekarang jujur pada ibu, Haechan. Kau sedang dekat dengan seorang omega, bukan?"

Matanya melotot, luar biasa terkejut karena tuduhan yang sangat tak terduga. Informasi darimana ibunya tahu ia sedang dekat dengan seseorang, bahkan menebak dengan tepat gender kedua sang kekasih.

Viridity - HYUCKRENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang