Bab 1: Belahan Jiwa

31.2K 3.1K 221
                                    

Mata emas, feromon menggoda

Belahan jiwa telah datang

Trigger warning: Masturbation!


Kring! Kring!

Bunyi alarm mengawali pagi si pemilik kamar, yang bahkan terbangun duluan dari si pengingat. Dengan badan segar sehabis mandi, Renjun mematikan alarm berisik tadi. Masih mengeringkan rambut dengan handuk, ia membuka lemari baju dan mengambil asal kaos putih dan hoodie coklat serta celana jeans hitam. Pakaian yang tepat untuk kelas pagi. Atau lebih tepatnya, kepagian.

Renjun menatap dirinya di kaca, wajah pucat dan lingkaran hitam samar di bawah mata sudah seperti teman sehari-hari. Baru juga memasuki semester 6, tidur sudah sangat kurang. Ia tidak bisa membayangkan bakal separah apa tugas-tugas mahasiswa tua ini nantinya. Lebih sadis mungkin, Renjun jadi takut membayangkan itu semua.

Tiba-tiba angin datang dan menerbangkan kelopak bunga sakura sampai memenuhi balkon kamar. Fenomena tersebut menjadi perhatian Renjun, dari pintu kaca ia memperhatikan pohon sakura besar di depan gedung tempat tinggalnya. Musim semi telah datang, itu berarti umurnya akan bertambah satu sebentar lagi. Ia tersenyum kecil, selamat 22 tahun! Semoga hidup tidak makin menyebalkan, ya.

/././.

"Lapar!" seru Yangyang tanpa peduli dosen di kelas mereka pagi itu belum sepenuhnya pergi. Ia menoleh ke Renjun yang setenang air ketika membereskan buku-bukunya ke tas dan terlihat tak peduli pada eksistensi Liu Yangyang. "Ayo makan, Ren!"

"Oke," jawabnya singkat dan pergi tanpa menunggu Yangyang. Si beta tidak merasa tersinggung, sudah sangat biasa atas tingkah sahabatnya. Renjun itu sesungguhnya tidak judes, ia cuma tak pandai mengekspresikan perasaannya.

"Lama sekali kelasnya!"

Renjun dibuat terkejut atas kehadiran si lelaki yang tiba-tiba muncul di depan kelas. Kebiasaan buruk, padahal sudah tahu Renjun paling benci dikejutkan.

"Oi, Lee Jeno!" Yangyang muncul belakangan, tersenyum lebar pada eksistensi pria alpha itu. "Biasanya muncul di kantin, tidak biasanya langsung mampir di kelas."

"Kalian terlalu lama." Jeno melipat kedua tangannya, menatap malas pada dua sosok tersebut.

"Siapa juga yang mengizinkan mahasiswa FISIP datang di wilayah anak Ekonomi," jawab Renjun tak kalah sinis. Jeno mengusak rambut si mungil, tidak terpengaruh sama sekali malah merasa gemas. "Aku tidak pernah menemukan ada larangan 'Orang Asing Dilarang Masuk' di pintu gerbang FEB. Jangan terlalu sinis atas kedatanganku. Aku juga punya sedikit urusan dengan Yangyang kok."

Yang disebut namanya langsung tertawa, seakan paham maksud ucapan Jeno. "Oke, aku mengerti maksudmu."

"Jangan merencanakan apapun untuk merayakan ulangtahunku!" kedua orang tersebut melotot, gelagapan atas ultimatum Renjun. Tertebak sekali apa maksud 'bisnis' yang diucapkan Jeno tadi. "Kalian benar-benar tidak pandai berbohong." Lalu ia pergi duluan, tak mau berlama-lama menanggapi tingkah Jeno dan Yangyang. Semakin ditanggapi, semakin menjadi saja mereka berdua nanti.

Belum juga jauh melangkah, tubuh Renjun mendadak kaku. Ia terhenti setelah hidungnya mencium feromon maskulin khas seorang alpha. Matanya sampai bergetar tak stabil atas penampakan tepat di depannya. Bukan cuma satu, tapi gerombolan alpha berjalan kemari. Badan yang besar dan mengintimidasi, suara menggelegar dan tak terkontrol. Mengerikan! Renjun menunduk ketakutan, kepalanya malah membuat bayangan tak menyenangkan untuk memperparah ketakutan ini.

"Ada aku disini..." suara berat yang selembut sutra itu berbisik di telinganya, menenangkan Renjun dan membuatnya kembali sadar. Feromon seorang Jeno melingkupi Renjun. Aroma lavender yang menenangkan membuat Renjun agak lebih rileks, badannya yang kaku pelan-pelan melemas dipelukan Lee Jeno. Renjun bersyukur ada Jeno disini, satu-satunya alpha yang bisa dia percayai di tempat ini. Sahabat terbaiknya sepanjang hidup.

Viridity - HYUCKRENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang