Tiga

8.8K 1.1K 65
                                    

Samantha Ravndahl as Lux!

Keesokan harinya aku menempati meja paling depan dilaboratorium sekolah, Liam yang akan menjadi rekan labku hari ini. Sesekali aku menoleh kebelakang untuk memandang Lux, masih dengan tampang bosan dan eyeliner tebal disekitar matanya. Sulit dipercaya bahwa ia adalah pacarnya Harry, atau haruskah kusebut mantan karena Harry sudah meninggal?

"Ada apa dengan Lux? Kau memandanginya terus menerus dari tadi," tegur Liam.

"Hah? Tidak ada apa-apa," sahutku. Liam hanya menggeleng pelan dan melirik jam tangannya, sudah dua puluh menit lewat dari jam masuk. Guru kami seharusnya sudah datang dari tadi, kurasa kami akan memiliki jam kosong hari ini.

Aku tidak bisa menolong rasa ingin tahuku tentang Harry dan kematiannya, aku kerap mencegah diriku untuk menanyakan tentang Harry kepada Liam tapi rasa ingin tahuku sudah benar-benar diujung tanduk sekarang. Aku berdehem sesaat sambil menepuk bahu Liam.

"Liam,"

"Ya?" Ia menoleh padaku.

"Kau kenal Harry?" tanyaku langsung. Untuk sesaat aku mendapati kesedihan dan rasa kaget dibalik tatapan Liam namun dengan cepat ia membuang muka sebelum menjawab, "Iya, kami dulu teman akrab."

"Oh, apa kau tahu apa yang terjadi dengannya?" Aku tipe orang yang langsung mengutarakan maksud dan tujuanku tanpa harus bertele-tele, aku ingin tahu bagaimana Harry meninggal. Sebenarnya bisa saja aku menanyakan hal tersebut langsung pada yang bersangkutan tapi aku sendiri tidak yakin jika akan bertemu Harry lagi.

Sejenak diantara kami berdua tidak ada yang berkata apapun, aku dengan sabar menunggu jawaban yang terlontar dari mulut Liam.

"Dia meninggal karena sakit," jawabannya keluar dalam satu hentakan nafas. Aku menopang dagu dengan telapak tanganku dan memerhatikan Liam yang melempar pandangan keseluruh kelas tetapi menghindar untuk memandang ke arahku.

"Oh, dia sakit apa?" tanyaku lagi.

"Maaf, aku harus pergi," dengan terburu-buru ia memasukkan semua buku pelajaran ke dalam tasnya dan melesat keluar dari kelas. Aku melongo mendapati tingkah anehnya, apa sebegitu sensitifnya ia jika ditanyai soal Harry? Aku tahu mereka dekat, terbukti di foto-foto yang terpajang di dinding sekolah yang kebanyakan menggambarkan Liam dan Harry yang sedang berangkulan dan tertawa lepas. Aku mendesah dan menundukkan kepalaku, memejamkan mata sambil menunggu bel makan siang berbunyi.

****

Saat makan siang aku duduk disebelah Nicky dan seorang gadis yang tidak kuketahui namanya. Dan jangan kaget ketika kubilang bahwa Lux dengan tampang merengutnya, duduk tepat diseberangku.

"Hai, Carly." sapa Lux. Ia memberikan senyuman kecutnya padaku sambil mengaduk-aduk minumannya.

"Namaku Karlie. K-A-R-L-I-E." jawabku kecut. Lux memutar bola matanya dan bergumam, "Sama saja."

Jelas beda, bodoh.

Belum separuh kuhabiskan makan siangku, aku mendongak ketika mendengar Nicky berbicara pada Lux tentang Harry.

"Apa kau akan datang kerumah Harry akhir pekan ini? Kudengar keluarganya mengadakan semacam doa bersama setelah beberapa puluh hari kematiannya." kata Nicky dan dapat kulihat dari sudut mataku Lux menegang dan ekspresinya berubah semakin masam.

"Tidak. Kurasa." ia berdehem dan melanjutkan, "Aku tidak bisa berada disekitar keluarganya atau hal-hal yang mengingatkanku padanya."

"Baiklah, maafkan aku." kata Nicky. Lux melanjutkan makan siangnya dengan diam, begitu pula halnya denganku dan Nicky.

Tiba-tiba sesuatu terlintas dibenakku dan aku menengadah memperhatikan Lux.

"Lux," panggilku. Ia mendongak.

"Kau mantan pacarnya Harry 'kan?"

Lux menjatuhkan garpunya.

Sudah kubilang aku tipe orang yang frontal. Aku harus belajar untuk basa-basi sebelum membahas topik yang menyinggung.

"Kami tidak pernah putus, jadi aku masih berstatus pacarnya." kali ini ia benar-benar melotot padaku.

"Tapi kan ia sudah meninggal, mana mungkin kalian berpacaran. Jangan konyol," aku tertawa kecil.

"Baiklah, secara teknis iya kami sudah tidak berpacaran. Kenapa kau menanyakan itu?"

"Hanya ingin tahu saja, oh ya," aku menggidikan bahu, "Harry meninggal karena sakit apa?"

Nicky memalingkan wajah padaku dan menautkan kedua alis tebalnya.

"Sakit? Harry? Sakit?" Ia memandang aneh kearah Lux.

"Ia tid--" kata Lux bersamaan saat bel berbunyi, menandakan jam makan siang sudah berakhir. Kami bertiga bangkit dari meja makan dan berpisah menuju kelas masing-masing.

****

Dua jam setelah aku pulang sekolah aku masih mengharap-harap Harry akan menampakkan diri. Aku bahkan sampai mengecek cermin kamar mandi untuk melihat apakah ia meninggalkan pesan atau tidak. Tidak ada. Aku mulai berpikir bahwa kemarin hanyalah khayalanku saja, ia tidak benar-benar muncul dihadapanku.

"Harry.." kataku dengan sangat pelan sambil memandang cermin dikamar mandi. Saat aku keluar, yang benar saja, disitu ia berdiri masih dengan pakaian yang sama dan memandangku dengan senyuman manisnya.

"Anjing! Anjing! Brengsek!" teriakku spontan sambil mendekap kedua tangan didadaku. Jantungku berdegup kencang seakan-akan aku baru saja melihat hantu. Well, memang benar.

"Kau yang memanggilku," ia tertawa. Hah? Kapan?

"Tidak, aku tidak memanggilmu." bantahku.

"Ya, barusan kau memanggil 'Harry'.." ia meniru dengan suara mengejek.

"Oh, kau mendengarku?"

"Anehnya, ya."

"Maksudmu aneh?" aku duduk dikursi meja rias sambil menghadap Harry yang kini dengan santai berbaring diatas ranjangku sambil menatap ke langit-langit kamar.

"Aku hanya bisa mendengarmu, tetapi ketika orang lain menyebut namaku aku tidak bisa mendengarnya."

"Mengapa begitu?"

"Aku tidak tahu," jawabnya singkat dan aku memutar bola mataku.

"Tadi siang aku berbicara dengan Liam dan ia bilang kau meninggal karena sakit, boleh ku tau kau sakit apa?"

Harry menengadahkan kepalanya dari bantalku, kedua alisnya bertaut dan ia tampak bingung.

"Sakit? Aku tidak sakit." katanya.

"Tapi kata Liam--"

"Tidak tidak, aku meninggal bukan karena sakit. Aku meninggal karena--" omongan Harry dipotong oleh suara daun pintu yang terdorong sehingga pintu kamarku terbuka dan ayahku masuk kedalam kamar.

"Oh, maaf sayang ayah tidak tahu kau sedang ada teman dikamarmu," kata Ayah dengan nada terkejut. Kali ini giliranku untuk menautkan kedua alisku.

"Kau bisa melihatnya?" tanyaku, tanganku menunjuk pada Harry yang kini telah duduk dengan kaki disilang diatas ranjangku. Sialan. Ia mengenakan sepatu dan itu pasti akan mengotori sepraiku.

"Tentu aku bisa melihatnya, kau kira dia hantu." Ayah tertawa dan memandangku aneh.

Memang benar, Yah.

"Baiklah, ayah tidak akan mengganggu kalian kalau begitu. Kalau kau butuh ayah, ayah akan berada diruang kerja." katanya sambil menutup pintu dengan pelan.

Mulutku terbuka lebar dan aku memandang Harry yang tampangnya datar dan biasa-biasa saja.

"Apa-apaan itu tadi?" tanyaku.

Gone H.S [DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang