Lima

8.5K 1.1K 80
                                    

Tiga hari berlalu setelah aku terakhir bertemu Harry. Sejak aku menolak permintaannya berkali-kali, ia tampak tersinggung dan menghilang begitu saja dari hadapanku dengan tampang kecut dan sedikit tersakiti. Sedikit.

Jujur aku merasa bersalah karena telah menolak untuk membantunya, tapi ini hal serius jadi aku tidak bisa begitu saja menyetujui permintaannya. Kalau memang aku setuju maka aku akan dihadapkan dengan seorang pembunuh, bisa jadi pelakunya lebih dari satu, berati pembunuh-pembunuh. Para pembunuh terdengar lebih efektif. Tetap saja, memangnya apa yang akan kulakukan jika aku menyetujui permintaannya? Apa aku akan melakukan pekerjaan detektif? Mencari bukti sana-sini, mewawancarai beberapa orang dan menyimpan semuanya sebagai rahasia? Apa aku tidak boleh memberitahukan ini pada siapapun? Aku bisa gila kalau begini caranya.

Kuakui aku memang penasaran, sangat penasaran akan sebab kematian Harry dan mengapa polisi tidak mengusut kasusnya. Rasanya begitu banyak hal yang ingin kuketahui tentang Harry, dan banyak juga hal yang ingin kutanyakan padanya. Aku ingin tahu teori dan alasan yang membuatnya berpikir bahwa ia dibunuh. Aku benar-benar ingin tahu. Menghela nafas, aku menutup buku tulisku dan menumpuknya dengan beberapa buku pelajaranku. Aku melemparkan pandangan ke sekitar kamar, tidak ada sepintas hawa dingin yang biasanya kurasakan jika Harry berada disini. Dia benar-benar marah karena aku menolak permintaannya. Aku merasa bersalah jika begini caranya.

Apa aku benar-benar yakin untuk membantunya? Apa aku bisa?

"Harry," tanpa kusadari nama tersebut terlontar dari mulutku, aku mengusap kedua tangan dilenganku--bersiap-siap untuk hawa dingin yang akan segera datang.

"Apa?" suaranya terdengar berat dan seperti menggeram. Aku menoleh mendapati Harry berdiri didepan pintu kamar mandiku, kedua tangan dimasukkan kedalam saku celananya. Rasa dinginpun mulai menjalar tipis-tipis disekujur tubuhku dan seakan mengarungi seisi ruangan.

"Ak--" belum sempat aku berkata apa-apa, Harry mengangkat satu tangannya dan aku berhenti bicara.

"Jika kau memanggilku kemari hanya untuk mengajakku menemanimu mengobrol lebih baik aku pergi." tegasnya.

Aku membuka mulut dan mengatupnya rapat-rapat, tidak ada suara yang keluar dari mulutku. Rasanya sejuta kata dan kalimat yang seharusnya aku lontarkan berkelebat didalam pikiranku dan aku tidak memiliki keberanian untuk mengucapkannya. Harry dengan cemberut memandangku dari seberang ruangan, tidak sedikitpun ia beranjak dari tempatnya semula berdiri.

"Aku ingin membantumu," kataku mantap. Matanya melebar dan kedua tangannya kini bersedekap didadanya, ia terlihat tidak percaya.

"Kau yakin?" tanyanya.

Apa aku yakin? Tidak. Tapi aku harus yakin. Harus.

"Ya," aku mengangguk cepat.

"Kau tahu ini bukan hal sepele 'kan? Kau tidak bisa main-main jika ingin membantuku,"

"Ya, Harry aku yakin."

Harry berjalan kearahku dan kini ia berdiri dihadapanku. Jarak diantara kami berdua tidak sampai satu meter dan aku bisa mencium baunya, bukan bau mayat atau hantu, tapi bau wangi seperti parfum laki-laki.

"Sebelumnya aku berterima kasih karena kau sudah setuju untuk membantuku, sekarang aku ingin menunjukkanmu sesuatu." katanya. Suaranya berubah menjadi lembut, tidak seperti beberapa saat lalu.

"Apa?" aku mendangak.

"Ikut aku," Harry berjalan kearah dinding kamarku dan aku memutar bola mata seketika.

"Harry aku tidak bisa menembus dinding!" seruku. Ia menoleh dan tertawa sesaat.

"Oh maaf, aku lupa. Ayo kita keluar lewat pintu rumahmu kalau begitu," katanya seraya mengikutiku berjalan keluar kamar.

Gone H.S [DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang