Thirty-one

510 36 6
                                    

You know you're mine
You just forget sometimes
So promise me you won't
And you know
I'll remind you
When you think I don't
Hey stupid, I love you

—Hey Stupid, I Love You—
.

.

.

Suasana menegangkan tercipta di ruangan berukuran 3x4 meter itu. Bau amis darah orang yang terduduk di kursi kayu itu mengisi seluruh ruangan. Pria yang berdiri di hadapannya memegang selang air di tangan kanannya, menatap bengis pria malang yang seluruh tubuhnya yang basah dan penuh luka. Bahkan wajahnya sudah tidak berbentuk lagi karena ada lebam dimana-mana. Matanya hampir tidak terbuka, beberapa giginya terlepas, belum lagi beberapa tulangnya yang retak bahkan patah. Steve dan Adam melihat kedua pria itu dibalik monitornya. 

Steve berpikir keras dalam otaknya. Pria yang dia lihat sekarang, yang sedang terduduk tak berdaya di kursi itu, bukan seperti Julian yang ia kenal. Entah Julian yang terlalu hebat berakting atau benar-benar bukan Julianlah pelakunya. Sejak Julian dimasukkan dalam ruangan interogasi tadi 30 jam yang lalu, dia hanya berkata bahwa dia tidak tahu apa-apa, dan mengemis untuk tidak disiksa. Julian benar-benar terlihat kebingungan dengan pertanyaan yang diajukan oleh rekan Steve, juga heran melihat dirinya sendiri yang terekam dalam rekaman amatir milik ibu Devan. Jika dilanjutkan seperti ini sudah pasti Julian akan mati kehabisan darah dan Steve tidak akan mendapatkan petunjuk apa-apa. Steve berinisiatif melihat rekaman Julian yang sedang menyeret seorang pria masuk dalam gudang penyimpanan makanan yang sudah tidak terpakai. Disanalah ditemukannya korban itu dengan keadaan yang tragis selang 30 menit setelah Julian masuk menyeretnya. Hanya Julian saksi mata disana tapi Julian mengaku bahwa ia tidak mengetahui kenapa dia bisa disana dan apa yang ia lakukan. Jelas ini ada yang aneh. Steve memutar otaknya lagi, berharap bahwa mungkin ia melewatkan sesuatu.

"Aku rasa ini tidak akan berhasil, Reev. Dia sudah sekarat, apa lebih baik dia dibawa ke rumah sakit dulu?" tanya Adam. Reev hanya mengangguk menyetujui.

"Saat kau menangkapnya kemarin apakah tidak ada perlawanan sama sekali?" tanya Steve sebelum Adam hendak meninggalkan ruangan mereka. 

"Tidak sama sekali, bertanya pun tidak."

"Tidak ada orang di sekitarnya?" tanya Reev lagi.

"Aku rasa tadi ada sekretarisnya. Kau pasti pernah melihatnya karena dia juga yang menemani Julian saat makan bersamamu. Dibanding Julian, sekretarisnya lah yang berusaha untuk melindungi Julian agar tidak dibawa ke sini," jelas Adam panjang lebar.

Steve baru mengingat pria paruh baya itu setelah Adam menyebutkannya

"Apakah dia juga perlu dibawa ke sini?" tawar Adam seperti mengetahui isi pikiran rekannya itu. Tawaran itupun langsung dibalas Reev dengan anggukan.

Steve menyusul Adam untuk keluar dari ruangan itu, melepaskan kancing di lengan kemejanya dan menggulungnya sampai sebatas siku. Steve terlihat sangat menawan bahkan dengan wajahnya yang lesu karena tidak tidur semalaman. Proporsi tubuhnya yang bak model itu menarik setiap mata orang yang ada disekitarnya, terlebih kaum hawa pastinya. Steve menyusuri jalan, sesekali melihat jam tangan di pergelangan tangannya, takut akan melewatkan jam makan siangnya bersama Debora. Sepuluh meter dari tempatnya berdiri sekarang, ia bisa melihat siluet istrinya yang sedang bercengkrama bersama Lucy dan Revan. Tanpa sadar senyumnya mengembang, membuat histeris para gadis yang ada di sebelahnya. Tentu saja Steve tidak peduli dengan beberapa gadis cantik yang sedang menatapnya genit tersebut, matanya hanya tertuju pada satu gadis yang selalu membuat jantungnya berdebar kencang, yaitu Debora.

The Bastard Kill MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang