Three

9.4K 420 2
                                    

Terkadang kamu butuh sebuah ilusi agar bisa bahagia.
-Reply 1988-
.
.
.
.

Bunyi deruman mesin Ferrari melumpuhkan setiap mata untuk terfokus padanya. Bukan pada mobil sport kenamaan brand terkenal dunia itu, melainkan pada pemiliknya yang tampak lebih mahal dan menawan. Mobil mewah itu berhenti tepat di sebuah kedai kopi tua yang kontras dengan mobilnya. Menghiraukan setiap mata wanita yang menatapnya lapar, lelaki bermata biru sapphire itu tampak santai memasuki kedai kopi yang mungkin saja bisa dibelinya secara cuma-cuma. Lalu netra biru itu terpaku pada sosok perempuan yang duduk termangu dengan tatapan kosongnya namun masih terlihat begitu menyilaukan dimatanya.

Steve mati-matian menahan kakinya agar tidak memeluk perempuan bertubuh mungil itu dan berakhir mempermalukan dirinya sendiri karena dia sadar satu fakta yang menyayat hatinya. Wanita itu membencinya. Wanita yang tidak lain bernama Debora itu membencinya. Sekarang yang bisa dilakukannya adalah mengamati gadisnya dengan jarak kurang dari 5 meter dan tentunya mengambil titik buta gadis itu agar sebisa mungkin tidak terlihat olehnya. Tapi dia cukup bersyukur dengan kenyataan bahwa perempuan yang selama ini selalu berhasil menghapus lelahnya hanya dengan melihat wajahnya pada selembar kertas, ada disini. Dia bisa melihatnya, dan itu sudah lebih dari cukup untuknya.

14 menit lebih 43 detik. Menggelikan, Steve bahkan menghitungnya. Menghitung waktu-waktu yang menegangkan. Saat tanpa sengaja mata indah itu menatapnya dengan kebencian. Saat dia melihat Debora yang telah adu pukul dengan seorang pria dan dia hanya bisa menahan kepalan tangannya agar tidak mendaratkan pukulan kepada pria brengsek yang berani-beraninya menyentuh Debora, wanitanya. Dengan segala perhitungan matang yang telah melalui banyak pergelutan batin, Steve mulai memberanikan diri mendekati gadisnya. Tapi gadis itu tampak terlalu enggan untuk berbalik kepadanya. Gadis itu pergi lagi, bahkan sebelum Steve menyapanya.

**

Sumpah serapah keluar dari mulut manisnya. Emosi Debora melonjak dua kali lipat. Terselip rasa rindu dihatinya. Tapi segera ditepisnya kuat-kuat.

Sial! Kenapa bisa si brengsek itu bisa kemari?! Damn!

Debora hanya ingin pulang ke mansionnya. Tidur dikasur empuknya. Dan berharap semuanya hanya ilusi.

**

"Semalam apa yang terjadi denganmu?" tanya Alice sambil mengunyah saladnya dan sesekali melirik Debora yang menuruni tangga dengan wajah khas bangun tidurnya. Tapi satu yang ia heran dari Debora, kenapa dia masih terlihat cantik bahkan dengan sisa air liur yang masih terlihat disekitar bibirnya? Sungguh sialan.

"Tidak ada."

"Benarkah? Kau terlihat sedikit kacau."

Debora mengambil tempat duduk di sebelah Alice dan mulai mengambil air minum milik Alice dan meneguknya.

"Aku baik-baik saja. Mungkin hanya perasaanmu."

Alice hanya mengedikkan bahu. Dia tau jawaban itu yang akan didengarnya. Dan selalu jawaban seperti itu.

"Kau sudah memikirkannya?"

Debora mengernyitkan dahinya sedikit bingung dengan maksut pertanyaan yang Alice ajukan. Lalu detik selanjutnya ia membentuk huruf O pada mulut manisnya, pertanda ia tahu arah pembicaraan ini akan kemana. Asal Alice tau, Debora sebenarnya enggan membahas hal ini-ditambah kejadian semalam-yang membuat moodnya seketika turun drastis.

"Hmm, aku masih perlu waktu. Mungkin besok tau lusa at–"

"Astaga, Deb! Kau benar-benar belum bisa melupakan masa lalumu?"

"Kau tidak tau apa-apa, Alice."

"Memang aku tidak mengetahu apa-apa, karena kau tidak pernah bercerita kepadaku. Bahkan aku ragu kau menganggapku temanmu."

Alice tertawa ironi. Sedikit menambahkan kesan bersalah kepada Debora. Debora bukannya tidak ingin bercerita. Tapi semua kejadian yang telah ia alami memaksanya bersikap demikian. Alice beranjak dari kursinya. Mungkin tidak ingin terlibat dalam suasana canggung. Atau mungkin memberikan Debora waktu untuk sendiri dan berpikir.

Telpon Debora berdering. Tanda pesan masuk. Debora mengernyit kebingungan saat melihat nomer dari seseorang yang tak dikenal. Tak ingin penasaran, diarahkannya jarinya pada tombol open. Seketika mata indah itu membelalak.

Coffee Shop, 14 Green St.
10 a.m.

~R~

.
.
.
.

Akhirnya update chapter berikutnya. Mungkin chapter2 berikutnya bakal lebih lama nih :( maklum anak sma wkwk kurang greget ya? Kalo ada masukan bisa comment kok 😂

The Bastard Kill MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang