And I will love you, baby, always
And I'll be there forever and a day, always
I'll be there 'til the stars don't shine
'Til the heavens burst and the words don't rhyme
And I know when I die, you'll be on my mind
And I'll love you, always—Always—
.
.
.
"Saya tidak tahu Tuan bisa berbuat seperti itu. Tapi yang saya tahu Tuan merupakan orang yang baik. Bahkan beliau banyak mendedikasikan waktunya untuk menjadi sukarelawan. Beliau juga banyak melakukan donasi dan kegiatan kemanusiaan lainnya. Jadi Tuan Alvord tidak tidak mungkin melakukan itu."Steve mengamati lekat-lekat proses pemeriksaan yang dilakukan sekretaris Julian. Lelaki yang terlihat sudah berkepala empat itu mati-matian membela atasannya. Memang benar catatan menunjukkan banyaknya kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Julian, namun itu tidak membuktikan bahwa Julian bukan pembunuhnya. Karena terlihat jelas bahwa wajah yang ada di rekaman adalah wajah Julian.
"Tanyakan kemana dia saat kejadian itu terjadi," perintah Steve melalui intercom yang menghubungkannya dengan anak buahnya di ruangan interogasi.
"Saya diminta keluar kota waktu itu oleh Tuan Alvord untuk urusan bisnis," jawab sekretaris Julian yang bernama Mike itu.
"Lacak lokasinya waktu itu, aku ingin tahu dia berkata jujur atau tidak." Adam segera melaksanakan perintah Steve.
Sudah 10 jam sejak pemeriksaan Mike berlangsung. Steve memang tidak menaruh kecurigaan terhadap Mike, namun kejanggalan ini terus mengusik pikirannya. Jadi dia harus benar-benar cermat mengamati semua orang yang terlibat. Pikiran dan tubuhnya lelah, dia juga hanya makan sandwich hari ini. Dia juga mengkhawatirkan Debora yang sedang sakit. Meskipun ia sudah meminta tolong pada Mr. Arnold, ayah Debora, untuk menemani Debora malam ini tapi Steve sebenarnya ingin melihat keadaan Debora. Steve juga sudah berkirim pesan dengan Mr. Arnold, dan beliau bilang bahwa Debora semakin membaik dan sudah makan. Steve sebenarnya ingin pulang malam ini, tapi dia harus mengawasi pemeriksaan Mike. Rasanya ia ingin memeluk Debora saat ini, melepaskan segala lelahnya di pelukan istrinya.
...
"Ayah pulang saja tidak apa-apa. Ayah pasti juga lelah sudah bekerja seharian ini," kata Debora merasa bersalah sambil menggelayut manja di lengan ayahnya.
"Bukankah perkataanmu dan tindakanmu kontras sekali?" tanya Arnold disertai kekehan diakhir kalimat.
Debora mendongakkan wajahnya melihat ayahnya, lalu ikut tertawa malu. Sejujurnya Debora memang ingin ditemani malam ini. Dia juga sebenarnya ingin ikut membantu Steve, tapi karena aksesnya terbatas dan hanya orang-orang tertentu saja yang bisa masuk jadi Debora terpaksa di tinggal di apartemen.
"Ayah," panggil Debora dengan nada serius.
"Ada yang ingin kau bicarakan?" tanya Arthur.
"Apakah dulu ayah sering menyatakan perasaan ayah pada ibu?"
"Sering. Sering sekali. Meskipun dulu ibumu sempat menolak ayah," ungkap Arnold sambil tersenyum mengenang masa saat ia masing mencoba mendekati ibu Debora. Debora sempat terkejut dengan jawaban ayahnya. Karena hal ini memang baru diceritakan ayahnya pertama kali, mengingat ia juga sempat berpisah lama dengan ayahnya.
"Dulu ibu menolak ayah?" ulang Debora memastikan pendengarannya. Arnold mengangguk mengiyakan.
"Dulu ibumu merupakan primadona di kampus ayah. Banyak sekali yang menyukainya. Dia cantik, pintar, sopan, meskipun sedikit pemalu. Kau harus bersyukur wajah cantikmu ini juga warisan dari ibumu," jelas Arnold sambil mencubit hidung mancung putrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bastard Kill Me
RomanceWarning! Cerita ini mengandung kata-kata kasar dan beberapa adegan kekerasan. Mohon kebijakan dari pembaca. ** "Kau sedang memikirkan apa sih?" Debora tersenyum canggung menanggapi pertanyaan Steve. "Permintaanku terlalu sulit ya? Kau akan mening...