Twelve

5.3K 279 12
                                    

PERINGATAN! BAB INI MENGANDUNG BANYAK UNSUR KEKERASAN YANG SANGAT TIDAK DIANJURKAN BAGI KALIAN YANG TIDAK SUKA DAN MASIH BERUMUR 21 KEBAWAH. UNTUK BAGIAN KEKERASAN BAKAL AUTHOR KASIH UNDERLINE BIAR KALIAN BISA SKIP/SCROLL AJA BACANYA. KALIAN MASIH BISA BACA YANG NGGAK PAKAI UNDERLINE KALO PENGEN BACA BAB INI. SEKALI LAGI, SANGAT DIMOHON KEBIJAKSANAAN DARI PARA PEMBACA.

"Tolong biarkan aku hidup! Aku mohon!" lirih wanita yang bersimbah darah itu. Baju putih yang ia kenakan kini telah berubah menjadi merah. Bahkan tidak ada perbedaan antara air mata dan darah yang mengalir di wajahnya. Sebenarnya wanita itu memilih untuk mati saja dari pada merasakan siksaan dari lelaki keji di depannya itu. Tapi ia memiliki seorang putra yang sedang menunggunya di rumah. Sejak beberapa hari lalu ia sudah dikurung diruangan dengan suhu yang disetel 35°C. Keadaannya yang lapar juga memaksanya memakan bangkai tikus yang ada disekitarnya. Lelaki itu memang berniat tidak memberinya makanan yang layak.

Lelaki itu menyalakan pembakar gas torch yang biasanya digunakan untuk memanggang makanan, lalu melangkah lebih dekat kepada seorang gadis dengan posisi terlentang yang tangan dan kakinya diikat dengan benang gelas tajam. Pupil matanya bergetar. Tubuhnya yang lemas mencoba untuk meronta-ronta berharap tali yang mengikat kencang tangan dan kakinya bisa terlepas. Gadis itu semakin berusaha untuk membebaskan dirinya tatkala melihat senyuman licik dari iblis yang sudah mengurungnya selama 13 hari itu.

"Kau lapar?" pertanyaan yang terlontar dari  lelaki itu malah dibalas dengan suara tangisan pilu yang mengisi seluruh ruangan. Perempuan itu tahu tidak ada sedikitpun niat baik darinya. Perkataan apapun yang lolos dari bibirnya akan membuahkan perlakuan kejam yang akan dilampiaskan kepada perempuan malang itu.

"Kau suka daging panggang? Aku akan membuatkannya untukmu."

Sedetik kemudian nyala api keluar dari gas torch yang sudah dipegangnya sejak tadi. Api itu ia arahkan di kedua kaki yang terikat. Jeritan dan rontaan dari sang gadis tak henti-hentinya ia lakukan karena merasakan panas yang teramat sangat dikedua kakinya. Air mata kesakitan berlomba-lomba jatuh dari kedua matanya ketika api itu memanggang disepanjang tulang kering di kakinya. Bahkan ia hampir tidak bisa merasakan kakinya saat lelaki itu mencoba mengambil daging dikakinya yang berwarna hitam kemerah-merahan.

"The food is ready to be eaten!"

Lelaki itu mencoba menyuapkan daging dari kaki perempuan itu kepadanya.

"Bunuh aku. Bunuh saja aku. Aku mohon." katanya memelas. Ia sudah tidak sanggup lagi menahan siksaan kejam darinya.

Lelaki itu tertawa puas lalu mengambil palu yang berada didekatnya.

"Baiklah. Kau sendiri yang memintaku untuk membunuhmu. Aku hanya menolongmu, kan."

***

"Sudah lama sekali tidak melihatmu. Kau tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Aku senang sekali saat Reev mengatakan kepadaku bahwa dia ingin menikahimu."

Eliza tidak bisa menyembunyika raut wajah bahagianya saat Reev datang membawa Debora bersamanya beberapa menit yang lalu. Ia terus menyunggingkan senyumnya dan tidak bisa mengalihkan matanya dari wajah cantik Debora.

"Senang bisa bertemu lagi dengan Anda, Nyonya Eliza." Debora tersenyum lembut. Tidak bisa dipungkiri bahwa ia juga sangat merindukan Nyonya Eliza. Dulu, saat seharusnya ada seorang ibu yang mendampinginya, Nyonya Eliza-lah yang menggantikan peran itu.

"Kenapa kau memanggilku begitu? Panggil saja seperti dulu. Kau masih menjadi anakku, Debora." jawaban itu membuat hati Debora menghangat setelah sekian lama Debora tidak merasakannya. Sebenarnya Debora menahan dirinya sendiri agar tidak langsung memeluk Nyonya Eliza ketika pertama kali melihat wajah cantiknya yang sudah mulai nampak garis-garis di wajahnya meskipun tidak mengurangi kadar keanggunan dan kecantikannya sedikitpun. Debora takut rasa sayangnya kepada Nyonya Eliza nanti malah membuatnya risih. Tapi setelah Nyonya Eliza mengatakan demikian, kesenangannya tidak bisa ia tahan lagi. Ia memeluk Nyonya Eliza seakan-akan Nyonya Eliza adalah ibu kandungnya sendiri yang tidak ia temui selama 16 tahun ini.

Disisi lain, Reev juga merasakan hal yang sama saat melihat senyum Debora kembali merekah di wajahnya, dan menambahkan kesan cantik yang berkali-kali lipat. Saat melihat senyuman itu lagi, Reev berjanji akan mematri jelas raut wajah Debora di benaknya, dan membuat Debora selalu tersenyum seperti itu kedepannya nanti. Reev memang sengaja meninggalkan mereka dan memilih melihat dari jauh agar tidak mengganggu momen-momen dari kedua wanita yang disayanginya itu. Tiba-tiba Smartphone-nya bergetar memecahkan fokusnya.

"Ada apa?"

"Sepertinya Julian berulah lagi."

"Temui aku ditempat biasa. Bawakan juga data-data dari korban. Aku kesana sekarang."

Reev mendekati ibunya dan Debora yang terlihat sedang mengobrol di ruang tamu. Sebenarnya rencananya ia ingin menghabiskan waktunya disini bersama Debora juga ibunya, namun bajingan sialan itu malah berulah dan mengacaukan segalanya.

"Deb, kau disini saja dulu bersama ibuku. Aku akan segera kembali."

CUP

Sialan. Dia memang pintar mengambil kesempatan.

Debora ingin sekali menendang tulang kering Reev ketika ia dengan lancangnya mencium pipinya didepan ibunya, dan itu membuat Debora tidak bisa berbuat apa-apa selain mengumpat dan menyumpahi Reev dalam hati. Apalagi ketika senyum kemenangan tercetak jelas diwajahnya sebelum ia berbalik pergi entah kemana. Debora berjanji akan membalas Reev nanti saat tidak ada Nyonya Eliza disini.

"Reev terlihat sangat mencintaimu. Aku tidak menyangka kalian akan berakhir menjadi sepasang suami istri saat aku mengingat kalian tidak pernah akur sejak kecil." Debora tersenyum terpaksa dan merasa bersalah karena sudah merasa membohongi Nyonya Eliza yang dianggapnya sudah seperti ibu sendiri.

"Tapi percayalah, sejak pertama bertemu denganmu, Reev memang sudah menyimpan ketertarikan yang besar denganmu, Deb. Caranya mengungkapkan saja yang salah. Ia selalu berusaha membuatmu kesal untuk menarik perhatianmu. Sejak kau pergi, ia menjadi orang yang pendiam dan gila kerja. Aku bersyukur kau akhirnya datang lagi dikehidupannya. Terimakasih, Deb," kata Eliza sambil menggenggam erat tangan Debora. Debora hanya bisa tersenyum simpul menanggapinya. Padahal di dalam hatinya ia sangat tahu jika sebenarnya Reev membencinya. Ia sadar ia sudah menyakiti Reev dan tidak pantas untuk mendapatkan cintanya. Debora tahu itu.

*
*
*

Haloo, readers... Mau curhat dikit nih, sebenernya author juga agak merinding lho waktu ngetik bagian yang sadis gitu uu sebenernya itu terinspirasi dari sebuah video yang nggak sengaja aku liat di instagram. Siapa yang nunggu momen momen Debora sama Reev? 🙄

The Bastard Kill MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang