Twenty-seven

2.6K 120 12
                                    

When somebody loved me
Everything was beautiful
Every hour spent together
Lives within my heart

And when she was sad
I was there to dry her tears
And when was happy so was I
When she loved me

-When She Loved Me-

.
.
.

Dorr! Dorr! Dorr!!

Selongsong peluru melesat berturut-turut menembus titik tengah sasaran tembak yang berjarak 500 meter dari mata indah yang dilapisi kaca mata pelindung itu. Gadis itu masih memakai pelindung telinga hingga tidak menyadari ada langkah berderap yang mendekat ke arahnya.

"Kemampuan menembakmu semakin meningkat saja, Deb."

Setelah menyadari ada seseorang yang berbicara di sampingnya, Debora melepas segala macam atribut menembaknya.

"Revan tidak ikut?" tanya Debora. Matanya berkeliaran mencari batang hidung temannya itu.

"Nanti dia menyusul. Ayo, aku sudah lapar sekali," keluh Lucy dengan raut muka melas sambil memegangi perutnya. Debora hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah sahabatnya yang seperti anak kecil.

.
.
.

"Dia tinggal di apartemen dengan seorang lelaki bernama Steve. Informasi yang saya dapatkan dia adalah seorang direktur pemasaran dari perusahaan besar disana," lapor pria berbadan besar itu.

Lelaki paruh baya itu berbalik melihat bawahannya yang sedang menunduk.

"Apa jalang itu tidak pernah berada di tempat yang mencurigakan?"

"Tidak, Tuan."

"Sialan, gadis bodoh itu tidak menjalankan tugasnya dan malah menjual tubuhnya kepada pria kaya." Asap cerutunya mengebul, wajah Arthur tampak tidak senang mendengar berita yang barusan di sampaikan oleh anak buahnya.

"Selidiki pria itu dan suruh Alice datang ke ruanganku."

.
.
.

Tatapan kagum tidak henti hentinya dilayangkan kepada Debora yang saat itu sedang berjalan menuju meja makan tempat Revan dan Lucy berada. Padahal saat itu Debora juga hanya mengenakan kaos putih berlengan pendek, jeans dan sneakers. Tapi itu tidak meninggalkan kesan seksi sama sekali pada diri Debora. Sebenarnya Revan dan Lucy yang sudah berteman 8 tahun dengan Debora saja masih belum terbiasa dengan aura keseksian temannya itu. Tapi mungkin tatapan memuja itu akan memudar jika mereka tahu bahwa seseorang yang sedang berusaha mengikat rambutnya asal dan meninggalkan beberapa anak rambut di sekitar wajah mungilnya itu pandai membanting dan mengeluarkan isi kepala orang.

"Kenapa menatapku?" tanya Debora ketus.

Oh benar, ditambah dengan cara bicaranya yang tidak ada manis-manisnya sama sekali.

"Aku penasaran pria macam apa yang akan menikah denganmu," kata Lucy dengan mata menerawang.

"Yang jelas dia tidak suka berganti-ganti pasangan sepertimu," sela Revan jujur sambil menyeruput Espressonya.

Lucy kesal karena tidak bisa mengelak karena itu memang faktanya. Debora tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah kedua sahabatnya itu. Debora kadang merasa kasihan dengan Revan karena Lucy tidak bisa melihat bahwa ada orang yang benar-benar tulus mencintainya, dan orang itu adalah yang sedang kesakitan karena ditarik rambutnya oleh Lucy. Seandaiknya saja Lucy sedikit saja menyadari bahwa Revan memiliki rasa padanya. Tapi dia tidak ingin ikut campur dengan urusan kedua sahabatnya itu, mereka sudah dewasa dan biarkan mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri.

The Bastard Kill MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang