I've been all around the world, done all there is to do
But you'll always be the home I wanna come home to
You're a wild night with a hell of a view
There ain't no place
-No Place-
.
.
.
.Kelopak mata gadis itu perlahan terbuka. Ringisan kecil keluar dari bibir pucatnya. Tangan mungilnya mencoba membebaskan tangannya yang terasa menyatu dan perih dipergelangan.
Matanya menatap ruangan asing yang berada disekitarnya. Ruangan itu pengap dan seperti sudah tidak ditempati untuk waktu yang cukup lama karena debu-debu yang menempel hampir diseluruh ruangan. Ia takut. Terlebih dengan keadaan ruangan yang minim cahaya. Yang ia pikirkan sekarang adalah dimana ayahnya? Ayahnya tidak mungkin mengikatnya seperti ini. Ia ingin sekali berteriak meminta tolong, tapi tubuhnya terasa sangat lemas dan tidak berdaya.
"Tolong..." yang keluar hanya rintihan kecil. Tapi gadis itu, Debora, tetap mencoba untuk meminta tolong barangkali ada seseorang diuar yang bisa mendengar suaranya yang lirih dan putus asa.
Suara pintu terbuka membuatnya berharap-harap cemas. Dia melihat lelaki berbaju serba hitam dan memakai topi.
"Tolong saya, paman."
Seringaian tipis dari lelaki itu tiba-tiba mengingatkannya dengan siluet lelaki yang dilihatnya saat mencoba mencari ayahnya. Serbuan rasa takut mulai menyergapnya. Derak langkah lelaki itu semakin membuat nyalinya ciut. Ia takut. Sangat takut.
"Jangan mendekat! Pergi!! Pergi!!! "
*
*
*Mata Debora terbuka lebar. Debora mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia bermimpi. Tangannya menyapu keringat yang sudah membasahi dahinya. Matanya terpejam sejenak sambil menenangkan hatinya. Ia tidak tau sampai kapan ia harus melalui ini. Semua mimpi buruk itu terasa mencekiknya. Ia tidak akan pernah bisa tidur lagi jika sudah bertemu dengan mimpi buruknya. Lebih tepatnya tidak ingin, ia takut akan memimpikan hal serupa. Setelahnya, ia hanya melihat pemandangan kota New York dari balkon kamarnya hingga subuh menyapanya.
*
*
*Reev berulang kali melihat layar ponsel pintarnya. Semalam ia mengirim pesan kepada Debora untuk menemuinya di apartemennya, tapi tidak kunjung mendapat respon. Tangannya gatal ingin menekan tombol 'panggil', tapi diurungkannya karena tidak ingin terkesan terlalu agresif. Matanya melebar dan berharap-harap ketika mendengar kode pintu apartemennya ditekan.
"Aku pikir kau tidak ingin menginjakkan kakimu untuk kedua kalinya disini." kata Reev yang berpura-pura membaca majalah di tabnya tanpa melirik sedetik pun gadis didepannya.
"Aku pikir kau tidak membaca majalah gosip."
Shit! Bodoh sekali!
Reev memang langsung memencet asal ketika mengetahui Debora yang akan datang. Debora mendaratkan pantatnya di sofa tepat dihadapan Reev.
"Aku hanya ingin melihat apakah ada gosip tentangku lagi."
"Kalau tidak ingin terlibat gosip jangan membuatnya." kata Debora yang sedang bersedekap dan menutup matanya.
"Mereka saja yang memanfaatkan kepopuleranku untuk menaikkan pendapatan mereka dengan menulis yang tidak-tidak tentangku."
Menyadari Debora yang sudah tidak menanggapinya, ia langsung meletakkan tabnya dan melihat gadis didepannya yang entah sedang tertidur atau hanya menutup matanya saja. Ia mendekati Debora sehati-hati mungkin agar tidak membuat suara. Seulas senyum tercetak diwajahnya kala melihat wajah gadisnya yang lugu tapi akan berubah menjadi galak jika sudah membuka matanya. Nafasnya yang teratur membuatnya semakin lega. Ia senang Debora bisa tertidur pulas disini melihat lingkaran hitam yang ada di bawah matanya. Tangannya terhenti di udara ketika ia mencoba menyentuh wajah gadisnya. Mata Debora membelalak. Menyadari wajah tampan yang ada dihadapannya, Debora melonggarkan cengkraman tangannya di pergelangan tangan Reev yang sedikit memerah. Reev melihat ada sedikit ketakutan dimatanya, meskipun ia langsung merubah raut wajah lega ketika menyadari dirinya yang ia lihat. Debora memutus kontak mata mereka dan beranjak dari sofa.
"Ayo. Aku tidak punya banyak waktu."
Padahal sebenarnya Debora sendiri tidak tau mereka akan pergi kemana. Ia hanya mengingat tadi malam Reev mengiriminya pesan yang isinya Reev akan mengajak Debora ke suatu tempat dan Debora harus berada di apartemennya jam 10 pagi. Ia hanya berpikir acak supaya bisa memutus kontak mata dengan Reev. Dilain sisi, Reev merasa Debora mempunyai sisi kegelapan yang tidak diketauinya. Dan itu membuatnya semakin ingin melindungi gadisnya.
*
*
*"Kau tidur saja. Nanti kalau sudah sampai aku akan membangunkanmu."
"Aku tadi tidak tidur. Memejamkan mata sejenak bukan berarti tidur." elak Debora. Padahal sebenarnya ia tadi memang sempat tertidur. Tidak tau mengapa melihat wajah Reev tadi melihatnya mengantuk. Ia merasa kembali kerumah saat menghirup aroma Reev yang menyerbak diseluruh ruangan. Entahlah, mungkin ia hanya lelah karena sudah beberapa hari ini tidak cukup tidur.
Reev terkekeh. Sifat keras kepala Debora memang tidak pernah hilang. Tapi terkadang juga sifatnya itulah yang membuatnya gemas, karena nantipun pada akhirnya Debora akan menurutinya. Reev menekan tombol yang membuat sandaran kursi Debora otomatis mundur kebelakang untuk membuat Debora lebih nyaman jika ingin tidur. Belum sempat mulut Debora terbuka bermaksud protes, Reev sudah lebih dulu menekan pelan dahi Debora agar bersandar.
"Tidur, Eve." tangan Reev bergerak pelan mengelus dahinya. Seperti sebuah mantra. Mata Debora tiba-tiba terasa sangat berat. Dan untuk kali ini ia terpaksa menelan kembali kata-kata elakannya.
***
Yeeey update lagi heheh untuk mengobati rasa rindu kalian sama Debora dan Reev nih author yang cantik ini rela update dua kali sehari untuk kalian
stay terus yahh 💞
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bastard Kill Me
RomanceWarning! Cerita ini mengandung kata-kata kasar dan beberapa adegan kekerasan. Mohon kebijakan dari pembaca. ** "Kau sedang memikirkan apa sih?" Debora tersenyum canggung menanggapi pertanyaan Steve. "Permintaanku terlalu sulit ya? Kau akan mening...