Two

10.9K 474 2
                                    

"Terkadang, untuk melakukan hal yang benar, kita harus bersabar dan merelakan apa yang kita inginkan, bahkan mimpi kita"
-Spiderman-
.
.
.
.

"Apa yang kau suka dari tempat ini?" Alice lantas mengajukan pertanyaan sesaat setelah ia mendaratkan pantatnya di kursi kayu berhadapan dengan Debora.

"Tentu saja aku menyukai rasa kopinya."

Bohong. Alice tau Debora berbohong. Bahkan orang tulipun akan tau hanya dengan melihat matanya. Debora terlalu dingin dan tak tersentuh. Bahkan untuk seseorang yang sudah mengenalnya selama 5 tahun seperti Alice.

Gadis bernetra coklat itu hanya menatap kosong cangkir kopi yang ada di hadapannya tanpa minat untuk menyecapnya barang sekali. Debora selalu seperti ini jika ada seseorang yang mengungkit masa lalunya.

"Fantasy Club?"

"Kau pergilah. Aku sedang ingin sendiri, Alice."

Untuk saat ini Alice menyerah untuk membujuk Debora. Hanya untuk kali ini. Karena Alice bisa pastikan bahwa esok tidak akan ada penolakan lagi untuknya.

"Baiklah. Jangan pulang larut malam. Banyak lelaki yang memandangmu lapar disini."

"Aku bukan anak kecil, Alice. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Pergilah."

Angin malam ini terlalu menusuk kulitnya yang putih bersih tanpa cacat sedikitpun. Tapi dinginnya malam itu tidak akan pernah menandingi dinginnya hati Debora yang mulai membeku. Entah terbuat dari apa hatinya itu. Dia terlalu membentengi dirinya sendiri. Jika gadis diluar sana sudah akan bercerita dan menangis didepan sahabatnya, maka ia akan memilih untuk menyendiri di sebuah kedai kopi tua ditemani alunan musik klasik yang mengalun dari sebuah radio tua. Ia bukannya tidak ingin bercerita kepada Alice bagaimana perasaannya. Hanya saja kejadian itu terlalu perih untuk diingatnya kembali. Karena bercerita akan membuat luka lama itu kembali menganga.

**
16 tahun yang lalu..
Sabtu, 30 Desember

"Ayah, kau akan membawaku kemana?"

Tapi seorang yang dipanggil ayah itu tidak menyahut sama sekali. Barangkali sibuk membopong anaknya sambil berlari tergesa-gesa tanpa peduli peluh yang sudah menetes di pelipisnya. Sesekali menengok kebelakang seakan akan ada yang mengejarnya. Gadis itu tetap bertanya tanpa peduli bibir ayahnya yang mulai memucat, entah karena terlalu lelah atau takut.

"Debora, sayang. Ayah mencintaimu. Kau harus berlari dirumah tua itu dan bersembunyilah dengan baik seperti terakhir kali kita bermain hide and seek. Kau mengerti?"

The Bastard Kill MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang