Bab 22: Bertemu Keraguan

33 1 0
                                    

Rindangnya pohon jambu menerbitkan bayangan kusam di bawah halaman hijau. Melindungi kulit pucatnya terhadap cahaya langsung. Meskipun sebenarnya tiada cahaya saat pagi yang gelap tersebut. Selain jejak samar di antara gumpalan awal.

Sambil menenggak jus merah di gelas anak itu masih sibuk dengan buku di hadapannya. Menulis sesuatu di sana seakan-akan tak terikat lagi dengan sekitar.

Kemudian tibalah angin yang merontokkan dedaunan kecoklatan dari pucuknya. Terbang lalu jatuh ke meja. Di saat itu juga ia berhenti lalu melirik ke kanan. Ada seseorang yang datang. Berpakaian modis lengkap dengan jas luaran yang elegan. Kontras dengan rambutnya yang mana tampak tidak rapi, menutup kedua mata dan menambah kesan seram.

Ia pun meletakkan buku tadi ke meja kayu tersebut. Lalu lanjut meliriknya, sudah dekat sekali. Namun tak berkata apa-apa sampai pria itu tiba di depan batang hidungnya.

"Ini hari yang cerah bukan? Aku jadi ingin pergi–"

"Apa yang kau mau?"

Anak itu memotong ucapannya dengan ketus. Kini pria tadi seketika terdiam. Namun bukannya marah, justru ia lanjut melayangkan senyuman.

"Tentu saja melihat kondisimu. Walaupun rawat jalan, mestinya tidak usah banyak bergerak dulu."

Ia pun diam saja. Perkataan itu ada benarnya juga. Terlebih masih ada perban yang terikat begitu kencang di lehernya.

"Terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Tetapi aku sudah pulih." Sesaat kemudian pandangannya beralih pada orang itu. "Sekarang pergi!"

"Kasar sekali! Padahal aku ini Papamu."

Sikapnya justru membuat pria itu semakin betah di sana. Kini ia ganti menatap ke ujung pohon jambu di belakang. Buah ranum kemerahan di sana membuatnya teringat sesuatu. Lantas bibir pria itu yang semula mengembang kini berubah serius.

"Ada yang perlu aku sampaikan padamu, Viktor. Mengenai ... kasus yang sedang kalian selidiki."

"Ternyata kau sudah mengetahuinya," ucap Viktor tanpa terkejut sedikit pun.

"Mereka yang memberitahuku. Teman-temanmu–"

"Oh. Mereka tidak akan terlibat lagi. Kau harusnya juga sama."

"Eh?" Ia pura-pura terkejut.

"Jangan kira aku tidak tahu soal pria tua berjubah putih itu. Selama ini dia datang atas perintahmu untuk memata-mataiku. Benar?"

Ia langsung berbalik lalu menuju meja. Selanjutnya menarik kursi dan duduk tepat di samping Viktor.

"Cukup benar tapi alasannya lebih dari itu."

"Semua tindakanmu selalu bisa ditebak dengan deduksi yang mudah. Dengan kata lain, jangan coba membodohiku, Tuan Schwarzergrat."

Pria itu tak berkutik lagi di hadapan Viktor. Bahkan ia tak lagi punya alasan untuk berbasa-basi. Beruntung beberapa detik setelahnya Viktor memintanya untuk berterus terang.

"Sekarang cepat katakan apa maumu."

"Aku mau kau berhenti."

Ucapannya tegas layaknya orang tua pada umumnya. Viktor pun berhenti menulis tak lama kemudian. Sorot mata di sana terlihat semakin tajam. Ekspresi kesalnya begitu jelas.

"Oh."

Hati pria itu seakan-akan terasa nyeri. Tertusuk oleh reaksi singkatnya yang runcing. Meskipun demikian ia tetap bersikeras demi mengubah keputusan anak angkatnya itu. Seperti sudah menyadari akan datangnya bahaya yang tak terduga.

"Dengan kekuatan vampir saja tidak akan cukup. Kau butuh lebih banyak bantuan."

Namun sudah pasti ia tak bisa dipengaruhi semudah itu. Bahkan makin muak seraya bangkit dari kursi lalu memalingkan wajah. Sambil membelakangi sosok 'Papa' yang merasa gundah namun tiada daya upaya lagi untuk mencegah.

Tales of the Endearing DollsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang