Bab 11: Saat Semua Bermula

64 3 0
                                    

 Saat itu keadaan tidak jauh berbeda dari hari-hari biasanya. Siang dan malam silih berganti tanpa henti. Orang-orang 'biasa' tetap menikmati kesibukan mereka, begitu juga dengan orang-orang 'terbuang'. Hampir sulit membedakan hari-hari itu dengan keadaan setelahnya.

Satu hal yang pasti, kehidupan terus berjalan. Dinamika yang ada senantiasa melukiskan banyak kejadian baru. Termasuk di Reksakarta.

Tidak banyak yang mengetahui bagaimana keadaan yang statis di sana, berubah dalam sekejap. Hilang dalam satu kedipan mata. Hal itu mengenai urusan politik yang telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Tepat di pinggiran Reksakarta, menyebar dari area suburban sampai pegunungan, merupakan wilayah provinsi yang seluruhnya berada dalam kendali pemerintahan lama. Dikenal sebagai Reksatama, monarki yang namanya diabadikan sebagai nama kota induknya.

Telah eksis jauh sebelum kota berdiri. Konon kisah mereka termuat dalam sebuah serat yang ditulis oleh seorang pujangga tak dikenal di akhir masa Majapahit, yaitu Babad Gunungan. Berisi tentang asal muasal dan bagaimana mereka mengendalikan pegunungan tengah hingga tak pernah berhasil dibuat bertekuk lutut pada pemerintahan siapa pun.

Konon, pendiri Wangsa Reksatama adalah makhluk buas yang turun dari bulan. Dengan kecerdasan, kekuatan, serta pengaruh, mereka bisa mengklaim domain di sepanjang giriwarsa. Entah bagaimana ceritanya, memang seperti itulah kejadian yang tertulis di dalam. Sampai sekarang, tidak ada pihak yang mampu mengungkap kebenaran kisah itu.

Walaupun kenyataannya berbanding seratus delapan puluh derajat, penduduk setempat tetap mempercayainya. Padahal dalam naskah tersebut sudah jelas siapa yang diunggulkan dan siapa yang menjadi budak.

Masyarakat memang dibuat takut akan murka Reksatama. Karena itulah selama ratusan tahun berikutnya penduduk sekitar pegunungan selalu memberikan tumbal nyawa dengan harapan bisa menahan amarah para monster tersebut.

Waktu silih berganti, zaman kian modern. Generasi muda sudah banyak melupakan dongeng lama tersebut. Kini akar kebencian mereka adalah persoalan lain. Masalah sosial, ekonomi, keamanan, masih belum kunjung membaik meskipun sudah berulang kali berganti walikota. Pemerintah provinsi dinilai telah lalai dalam mewujudkan kestabilan di Reksakarta, ibukotanya. Meskipun wewenang utama bukanlah berada di tangan mereka.

Karena itulah gejolak perlawanan kian besar setiap harinya. Kaum anarkis juga menunggangi aksi kawula muda, mempercepat upaya pemberontakan. Kekerasan yang semula hanya tiga kali dalam sehari, kini bisa mencapai sepuluh kasus dalam sehari. Dengan demikian tak dapat dipungkiri kerusuhan bisa meletus kapan saja.

Tentu saja dengan kekuatan politik yang mereka miliki, Reksatama bisa mengembalikkan keadaan. Wilayah provinsi tentulah bisa diatasi, namun untuk Reksakarta itu perkara yang lain.

Konon sesuai perjanjian, raja hanya bisa mengawasi dan menyetujui kebijakan terkait perundang-undangan. Untuk urusan keamanan tidak ada hak yang dimilikinya. Karena itu permasalahan di kota begitu lamban diatasi. Akibatnya adalah bom waktu. Gejolak di wilayah semakin meluas.

Lama-kelamaan membuat pusing pemangku pemerintahan. Termasuk sang pangeran muda. Bulan kemarin baru saja ia menginjak usia sepuluh tahun, namun sudah harus menghadapi masalah paling rumit.

Tidak pernah ada raja yang mengalami gelombang teror dan kekerasan seperti ini. Seakan-akan memang ditakdirkan terjadi di masa kehidupannya. Karena itulah ia dilarang untuk bepergian ke kota kecuali ada kebutuhan mendesak.

Akan tetapi, terus berdiam diri dalam keraton tentulah membuat pikirannya bertambah sesak. Bahkan di malam itu.

"Tuan Muda, yakinlah, ini adalah langkah yang terbaik untuk Anda," ucap sosok berkostum beruang di dalam kamarnya.

Tales of the Endearing DollsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang