'Aku masih ingin terlelap ...
'Lima menit lagi ...
'PBB ...
'Homo formosus?'
Di tempat itu udara masih dingin. Pagi hari tak seperti biasanya karena sekolah sedang libur akhir semester. Termasuk pemukiman di Kelurahan Ganir, Distrik Sukaraya.
Anak-anak berkeliaran di pagi buta, bermain bersama teman sebaya mereka hingga malam datang. Satu rutinitas yang juga tak akan dilewatkan oleh Rey. Akan tetapi, belum sempat bersiap ia sudah mendapat tamu lebih dulu. Seseorang barusan mengetuk pintu dan menyebut namanya.
"Rey!"
Ia kenal betul siapa yang memanggil kalau bukan tetangganya sendiri. Gadis kecil berambut pendek. Kerap kali datang untuk minta diajarkan berhitung saat ada waktu luang. Sebagai imbalan, gadis itu akan bercerita panjang lebar mengenai apa yang ditemukannya di perpustakaan kota.
Hari itu juga sama. Rey buru-buru membuka pintu dan menemukannya berdiri malu-malu. Ada beberapa buah buku tulis yang dibawa, kotak pensil lonjong dari kulit, juga tas sekolah warna hijau di belakang. Tempat menyimpan berbagai buku dan pulpen warna-warni kesukaannya.
"Huh ... terlalu pagi, Melissa. Lihat jam berapa ini!"
Rey mengeluh sambil memperlihatkan arloji di tangannya. Memang masih pukul 6 pagi.
"Tapi kamu sudah janji kemarin. Lihat!" Melissa ganti memperlihatkan lembar demi lembar angka di buku tulis. "PR-nya banyak!"
Sedikit kesal tetapi apa boleh buat. Hari ini Rey juga tidak ada kesibukan seperti biasanya. Maka ia menyuruh Melissa masuk sembari menunggu ia bersalin pakaian. Tak berapa lama muncul kembali sambil membawa snack.
"Ke tempat biasa!"
Keduanya pergi menuju lapangan rumput, tak jauh dari perumahan. Tempat itu biasa digunakan untuk pertandingan antar kompleks, atau sekadar tempat bermain anak-anak. Di sekeliling pohon-pohon beringin besar berdiri kokoh. Konon sudah ratusan tahun bertahan hidup dari mata gergaji. Warga sekitar pun menganggapnya pohon keramat dan melarang siapa pun untuk memotongnya. Hingga kini, tiada lagi yang berani mengusik.
Tempat yang dituju adalah gazebo kecil tepat di bawah batang pohon ketiga. Berada pojok lapangan sehingga pandangan jadi luas. Rey dan Melissa biasa datang untuk belajar bersama. Seperti saat ini.
Begitu naik ke lantai papan, gadis di sebelahnya segera memuntahkan isi tas. Sementara itu, si pemuda sibuk mencermati tugas rumah yang dibawanya. Aritmatika dengan melibatkan pecahan dan angka ratusan. Tidak sulit sama sekali bagi anak SMP. Seperti membalikkan kedua telapak tangan.
"Apa yang kau dapat dari perpustakaan kota kemarin?"
Melissa menggeleng ringan. "Tidak ada yang menarik. Semua buku bagus sudah dipinjam."
Rey sedikit terkejut. Tak biasanya bocah itu murung begini di awal hari. Tetapi ia juga tak bisa berbuat banyak. Buku memang menjadi alat pembayaran bagi Melissa. Jika ia tak bisa menemukan sesuatu untuk ditukarkan dengan jasa Rey, ia akan berhutang untuk hari berikutnya.
Rey tiba-tiba mengganti topik pembicaraan ketika melihat gadis itu kembali sibuk mencari sesuatu di dalam tas. "Biasanya kau punya cerita soal taman–"
"Kecuali ini." Melissa langsung menarik buku folio setebal 200 lembar dari dalam tas. "Ada di bawah meja ayahku."
Mata Rey terbelalak. Ia tertarik pada benda bersampul cokelat yang gadis itu bawa. Judulnya ditulis dengan huruf sambung. Rapi dan tampak profesional. Tidak seperti tulisannya yang seperti ceker ayam. Karena kesulitan membaca ia sampai harus mendekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tales of the Endearing Dolls
غموض / إثارةPada hari kelabu di bulan Agustus, Viktor menerima surel dari seorang kenalan sebayanya di dunia maya. Bocah asal Jerman itu diajak untuk saling sapa secara langsung dengan Ilya, setelah sekian lama hanya bersua lewat gim daring populer 'Eternal Sou...